Wednesday, August 25, 2010

Macet, Legalkan Langgar Aturan


Macet, kata yang bisa bikin panik siapa saja. Suasana tenang pun mendadak pelik. Betapa tidak, saat terjebak macet, orang akan melakukan apapun agar bisa terbebas darinya. Ya, apapun dilakukan asal cepat terlepas dari macet.

Kadang, hal bodoh pun dilakukan. Semacam ungkapan frustrasi, mungkin. Contohnya apa? Pencet klakson berkali-kali dalam waktu berdekatan. Mengumpat siapa saja, orang di depan, samping kanan dan kiri. Sekedar melepas amarah! Meluapkan kekesalan. Padahal si pelaku tahu, dengan melakukan hal-hal bodoh itu, macet tak akan hilang. Macet tetap akan terjadi, menghambat pergerakannya.

Macet terjadi apabila volume kendaraan yang melintas melebihi kapasitas jalan. Jika sudah begini, maka pengendara (khususnya motor) mendadak jadi orang hebat, berakrobat di trotoar jalan, salib sana sini.

Sebagai contoh, kita ambil kasus seorang yang bekerja di ibukota (saya). Jika orang tersebut berangkat dari rumahnya sebelum pukul tujuh pagi, maka ia tidak akan menemukan kendala berarti (macet parah), tetapi jika ia berangkat setelah jam tujuh, dapat dipastikan bahwa ia akan terjebak macet.

Kesimpulan sementara, macet bisa diprediksi. Yang terpenting adalah, tahu titik macet dan kapan waktu volume kendaraan meningkat. Dengan begitu, kemacetan dapat dihindari.

Kembali ke poin awal, macet legalkan langgar aturan. Sebagaimana diuraikan pada paragraf-paragraf sebelumnya, tindakan-tindakan yang dilakukan pengendara seperti melintasi trotoar (jalan yang diperuntukkan bagi pejalan kaki), menggunakan jalur yang semestinya untuk lawan arah, dll., adalah bentuk pelanggaran aturan yang berlaku di saat kondisi normal. Polantas pun mendadak jadi ‘macan ompong’. Seberapa pun banyaknya ‘daging’ (baca: pelanggar aturan) lewat, polantas hanya bisa melihat dari kejauhan, tak akan bertindak atau menilang, misalnya.

Lagi-lagi, macet seolah menjadi alasan bagi aparat penertib jalan untuk bertindak pasif. Padahal di saat kondisi normal, polantas begitu garang terhadap pelanggar peraturan. Belok kiri saat lampu lalu lintas berwarna merah saja diberhentikan, ditilang! Apalagi lewat jalur yang bukan semestinya, hmm… bisa lebih berat hukumannya.

Lampu lalu lintas pun tidak berfungsi jika kemacetan yang terjadi bersifat abnormal. Hijau tidak berarti boleh melintas, dan merah tidak berarti dilarang melintas, akan tetapi disesuaikan dengan banyaknya jumlah kendaraan yang menunggu melintas.

Di ibukota, menurut pengamatan penulis, kemacetan yang terjadi lebih sering disebabkan oleh banyaknya jumlah lampu lalu lintas. Dapat dibayangkan, setiap tiga ratus atau lima ratus meter terdapat lampu lalu lintas, setiap lampu hanya selisih satu sampai satu setengah menit. Jika volume kendaraan yang mengantri melintas sangat padat, lampu lalu lintas tersebut menjadi hambatan tersendiri.

Kesimpulan akhir, macet adalah kondisi yang membuat peraturan-peraturan lalu lintas berguguran, tak berlaku. Sehingga pengendara mendapat otorisasi untuk melanggar aturan tersebut.

No comments:

Post a Comment