Friday, July 31, 2009

Kilas Balik

Hujan lebat mengguyur Jakarta malam itu. Angin lembab berhembus ke dalam metromini yang kutumpangi. Sesekali tubuhku terguncang. Miniarta terus melaju. Hujan semakin lebat. Seorang penumpang yang duduk di dekatku bangkit dari kursinya hendak turun, belum sempat aku duduk, seorang penumpang yang duduk di sebelahnya menggeser duduknya ke tempat orang yang hendak turun. Akhirnya aku duduk di dekat pintu miniarta. Hujan menerobos masuk, membasahi celanaku.

“Mas, celananya basah…” kata sang kernet padaku sambil mengarahkan pandangannya ke arah celanaku.

“Nggak apa-apa, Pak…, sudah terlanjur.”

Bibirku menyungging senyum. Pak kernet tak mau kalah, ia membalas senyumku dengan senyum terbaiknya. Aku kembali sibuk dengan hape-ku.

“Ditutup saja, ya, Mas, pintunya?” tawar sang kernet, tampaknya ia iba melihat celanaku yang terus diguyur hujan.

“Ya, silakan saja, Pak.”

Perjalanan berlanjut. Turun dari metromini, aku masih harus melanjutkan perjalanan menuju rumah dengan menaiki angkutan umum. Hujan mulai reda, tak lama aku tiba di rumah. Kuambil sepiring nasi lengkap dengan lauk, perutku perih.

Usai makan, kulanjutkan lagi aktifitas rohani, shalat isya.

Mataku tiba-tiba perih. Leherku sakit, dan kepala terasa berat. Spontan aku melihat lengan tangan, khawatir ada bintik merah yang membuatku ngilu saat mengenangnya. Ternyata benar, bintik itu mulai tampak jelas di lenganku. Aku panik. Aku tak ingin membuat ibuku panik. Kenangan setahun lalu belum hilang seratus persen dari memoriku.

“Bu…, badanku tidak enak, dan sudah ada bintik merahnya,” terangku pada ibuku yang kala itu tengah berbaring.

Ibuku bangkit dari pembaringan. Ditatapnya aku lekat, raut kebimbangan tampak jelas di wajahnya. Tak lama ibuku berseloroh, “Ya ampun, jangan mengagetkan begitu, mungkin salah lihat kali.”

Aku mencoba meyakinkan ibuku. Ibuku terdiam. Kutinggalkan ia dalam kebisuannya. Aku tak tega melihat ibuku panik.

Malam itu, aku berusaha mengumpulkan energi untuk bangkit dari keterpurukan. Aku meminta ibuku membuatkan ramuan yang setahun lalu kukonsumsi saat dirawat. Tak lupa memohon doa dari sahabat-sahabat, meminta dukungan mereka agar aku tak merasa sendiri.

***

Sabtu pagi, aku memeriksakan diri ke RSUD Depok. Bibirku menyungging senyum saat melihat sebuah spanduk ucapan selamat atas hari jadi RSUD yang kesatu. Ya, tepat setahun lalu aku dirawat di RSUD Depok yang kala itu baru dua bulan beroperasi. Saat itu aku memaksakan diri untuk pulang, padahal trombositku belum normal.

“Cepat bilang ke perawat!” kataku pada kakak, adik lelaki dan ibuku yang pagi itu menungguiku.

Ketiganya tak bergeming. Aku kesal. Kuputuskan untuk menghadap sendiri ke ruang perawat. Langkahku gontai. Di ruang perawat, aku mengutarakan maksudku. Akhirnya perawat membuatkan surat pernyataan, bahwa aku tidak akan menuntut pihak rumah sakit, jika sesuatu terjadi padaku.

Dan kini baru kurasakan dampaknya. Penyakit itu kembali menyerangku.

***

Proses pemeriksaan dimulai. Setelah diperiksa oleh dokter, aku dirujuk untuk melakukan cek darah untuk memastikan kondisiku pagi itu.

Aku menuju laboratorium dengan langkai gontai.

“Silakan duduk, Pak…,” kata petugas lab ramah.

“Terima kasih,” balasku sambil duduk di kursi.

Petugas lab menyiapkan jarum suntik dan tabung kecil untuk menyimpan darahku. Dibersihkannya lenganku dengan alkohol.

“Sakit sedikit, ya, Pak…,” kata petugas lab sesaat sebelum ia menusukkan jarum ke nadiku.

Cess…, jarum menembus kulitku. Kugigit bibirku untuk menahan sakit. Kupejamkan mata, tak berani melihat prosesi pengambilan darah. Tanganku mengepal. Beberapa detik kemudian jarum ditarik kembali. Seluruh persendianku serasa lepas. Kepalaku pusing.

Limabelas menit kemudian hasil keluar. Semua rasa sakit terbayar sudah. Usahaku selama tiga hari membuahkan hasil, trombositku masih stabil. Segera kusampaikan hasil itu kepada dokter.

Kutinggalkan RSUD dengan hati gembira. Ketakutanku akan ruang rawat inap dijawab Allah. Aku menyempatkan diri melihat kembali spanduk, ‘Selamat Ulang Tahun ke-1 RSUD Depok, semoga lebih CERIA’. Ya, seCERIA hatiku pagi itu setelah menerima hasil tes.

***

Kini ujian itu kembali datang. Kakakku pun turut terkena gejala DHF. Semoga Allah segera menyembuhkan kami, juga saudara seiman yang senasib dengan kami

No comments: