Friday, June 12, 2009

Persahabatan Tiga Hewan

Alkisah, tersebutlah persahabatan antara tiga hewan berbeda jenis, semut, ulat, dan burung. Ketiganya mulai saling mengenal satu sama lain, saat hendak mencari makan di sebuah pohon rindang.

Saat itu ulat sedang asik memakan daun-daun yang masih muda, sedang semut berusaha mengumpulkan daun yang tua untuk dijadikan sebagai sarangnya.

Semut menyapa ulat yang sedang makan saat itu, “Hai ulat, apa yang sedang kamu lakukan dengan daun itu?”

Ulat berhenti mengunyah daun, ia menoleh ke arah suara, ia melihat hewan yang sama sekali tidak mirip dengannya, dengan tubuh kekar, serta kaki-kaki yang berbentuk seperti ranting kecil yang telah mati. Ulat lalu menjawab, “Aku memanfaatkan daun ini untuk kusimpan dalam tubuhku, sebagai bekal saat aku berubah menjadi pupa.”

Tiba-tiba datang seekor burung. Ia hinggap di sebuah ranting kering, matanya menyisir setiap sisi pohon. Saat melihat ulat yang sedang makan, burung tersebut mendekat hendak memakan ulat. Spontan ulat berteriak minta tolong. Ia sangat terkejut saat burung mengarahkan paruhnya ke tubuhnya yang lembek.

Semut berlari melewati dahan, mencari tahu, siapa yang baru saja berteriak minta tolong. Saat itu semut melihat ulat tengah berada di antara himpitan paruh burung, mengaduh kesakitan.

“Tunggu! Apa yang kau lakukan terhadapnya?” tanya semut pada burung.

Burung melepaskan ulat dari paruhnya. Ia mengarahkan pandangan kepada semut yang sedang terengah. “Ia adalah makananku dan anak-anakku,” kata burung.

“Makan?” tanya semut heran.

Burung menganggukkan kepalanya.

“Kenapa? Bukankah banyak daun yang dapat kamu makan? Ulat itupun sedang memakan daun, mengapa kamu tidak mencobanya?” kata semut lagi.

Burung tersenyum mendengar perkataan semut. Semut mendekat ke tempat burung dan ulat. Ketiganya lalu saling berkenalan. Semut meminta burung untuk tidak memakan ulat yang sudah menjadi temannya tadi. Burung setuju. Ketiganya mulai bertutur tentang kehidupannya hari itu.

Semut berinisiatif memulai cerita tentang hal menarik dalam hidupnya, “Bagiku, hal yang paling menarik adalah saat dimana aku menjadi prajurit semut, aku ditugaskan untuk menjaga ratuku di sarang, kami saling bahu membahu mencari makan, melindunginya dari serangan serangga lain, aku tak pernah mengharapkan balasan dari apa yang telah aku lakukan, aku melakukan semua itu atas dasar dorongan hati dan rasa tanggung jawab sebagai prajurit. Aku sadar, ratuku tak memiliki kemampuan untuk beraktifitas seperti kami para prajurit, tubuhnya selalu dipenuhi oleh telur-telur yang kelak akan menjadi penerus kami. Walau lelah, kami tak mengeluh. Kami yakin, ratu kami pun merasa lelah saat tubuhnya menanggung beban telur-telur. Jika kami tak membantunya, maka kami akan kehilangan generasi penerus kami.”

Ulat menyambung cerita yang telah ditutukan semut, “Bagiku, hidup yang kujalani adalah sebuah anugerah yang tiada terkira, aku tak pernah tahu seperti apa masa depanku kelak. Saat menjadi ulat, naluriku mendorongku untuk memakan sebanyak mungkin daun. Dan aku menuruti naluriku. Tak sekalipun aku merasa jemu. Walau terkadang perutku menjadi sangat besar karena terlalu banyak memakan daun. Setelah itu, naluriku mendorongku untuk membuat rumah untuk diriku sendiri, berdiam diri di dalamnya dalam kurun waktu tertentu, gelap, tanpa makanan, dan dengan gerak yang terbatas. Saat naluriku menyuruhku keluar dari rumah, kudapati tubuhku telah berubah, kelak akan ada dua buah sayap yang dapat kugunakan untuk terbang. Mengelilingi daerah-daerah yang belum pernah kujumpai saat menjadi ulat. Saat itu aku tersadar, bahwa duniaku bukan hanya berada di atas daun dan dahan, ada bunga-bunga indah yang dapat kuhinggapi kelak. Karenanya, aku tak pernah menyesali diri saat menjadi ulat, yang hanya dapat memakan daun dan pergi ke tempat terbatas, yang membelenggu pikiranku. Karena kelak akan ada dunia lain yang akan kukunjungi.”

Burung terpesona mendengar penuturan kisah hidup dua sahabat barunya. Ia tak mampu berkata-kata. Semut dan ulat bertanya pada burung, “Bagaimana denganmu, hai burung?”

Burung terdiam sesaat. Suasana hening. Akhirnya burung angkat suara, “Teman-teman, sungguh, cerita kalian berdua sangat berkesan bagiku, kalian memiliki pengalaman hidup yang luar biasa indah. Kalian mengisi hidup dengan kesabaran dan pengorbanan. Dan semua itu kalian lakukan tanpa pamrih. Sedang aku, takdirku adalah menjadi pemangsamu, hai ulat. Aku melakukannya sama seperti yang kau lakukan, mengikuti naluriku. Aku yakin, naluriku tak pernah salah, meski kelihatannya aku sangat kejam saat memakanmu. Hal terindah dalam hidupku adalah saat aku harus menyediakan makanan bagi anak-anakku. Aku berkeliling dari satu dahan, ke dahan lain, saat menemukan makanan, aku menyimpannya, dan akan aku berikan kepada anak-anakku saat aku tiba di sarangku. Hanya itu, beruntunglah kalian yang memiliki banyak pengalaman hidup. Karena saat kalian bertemu dengan teman baru, kalian dapat menceritakan sesuatu yang baru, yang belum pernah mereka alami sebelumnya.”

No comments: