Monday, June 8, 2009

Journey to Bandung

Sesuai rencana, Sabtu siang, aku, Taufik, Jamil, dan Danie berangkat menuju Bandung, menggunakan sepeda motor. Aku bersama Taufik, Danie bersama Jamil.

Kami mengawali perjalanan dengan berfoto bersama. Senyum terkembang dari wajah kami, memancarkan harapan kami akan kelancaran perjalanan hari itu.

Kami mulai menyusuri jalan-jalan yang sedikit asing bagi kami. Jalur yang kami tempuh hanya kami pelajari melalui peta. Selebihnya tawakkaltu ‘alallah. Tak heran, ketika menjelang BUPERTA Cibubur, aku dan Taufik salah mengambil jalan, mengikuti kendaraan roda empat dan atau lebih menuju pintu tol. Beberapa mobil memberikan klakson, dari jendela yang sedikit terbuka, muncul kepala pengemudi yang berseloroh, “Tol, mas…” Tangannya menunjuk ke depan, isyarat pintu masuk tol sudah dekat. Kami bergegas berbalik arah. Di sebelah kiri, dua buah motor mengalami nasib yang sama dengan kami. Pak Polisi yang kala itu berada di bahu kiri jalan, mulai sibuk menginterogasi dua pengendara sebelah kiri. Beruntunglah aku dan Taufik, karena kami berada di sebelah kanan bahu jalan, mobil-mobil yang hendak masuk tol menjadi batas antara kami dan Polisi. Kami mengambil langkah cepat. Jamil dan Danie tersenyum melihat kekikukan kami saat itu.

Saat hendak berbalik arah ke jalan yang benar, Polisi menyadari keberadaan aku dan Taufik yang berusaha menghindari penglihatan mereka. “Priiitt.. Priiitt..” Polisi membunyikan peluit, isyarat agar kami tak melarikan diri. Tapi kami tak punya waktu untuk bersilat lidah siang itu. Taufik, sang driver, memacu sepeda motor dengan cepat. Melesat, meninggalkan Polisi-polisi tersebut.

Perjalanan terus berlanjut. Kami mulai memasuki area industri di jalur Cileungsi, Jonggol, serta Cariu. Truk-truk dengan ukuran besar lalu lalang di jalan yang kami lalui. Debu bertebaran ke sana ke mari. Udara tak terlalu panas siang itu.

Semakin jauh perjalanan yang kami tempuh. Kebisingan, debu, dan truk-truk besar beralih menjadi padi-padi yang menguning. Sungai-sungai berbatu pun kami lalui. Bukit-bukit tinggi mengelilingi kami. Jalan mulai berkelok, turun dan naik.

Saat memasuki Jalan Raya Bandung, Cianjur, sepeda motor yang aku dan Taufik gunakan tiba-tiba oleng. Takbir dan tasbih terucap dari bibir Taufik saat itu. Aku masih belum menyadari apa yang terjadi. Kepanikan mulai menyeruak. Kami menepi. Ban sepeda motor kami bocor. Alhamdulillah, hanya berjarak sekitar tigapuluh meter dari lokasi, terdapat tempat tambal ban.

Setelah semua rapi, kami melanjutkan perjalanan. Aku sempat menggantikan Taufik sebentar. Saat itu Taufik tak mempu melihat jalan dengan baik, terlalu gelap. Taufik mengenakan kacamata. Saat memasuki wilayah perkotaan yang cukup terang, Taufik kembali mengambil alih kemudi.

Kami melanjutkan perjalanan.

Masalah kembali datang. Taufik merasa, ada sesuatu yang tidak beres dengan motor yang kami gunakan. “Rem-nya tidak berfungsi, berbahaya jika kita melanjutkan perjalanan, lebih baik kita cari tempat tambal ban, lalu minta bantuan untuk di set ulang,” kata Taufik padaku.

Di tempat tambal ban. Montir mencek kondisi roda belakang. Benar. Ada yang tidak beres, ban belum terpasang dengan benar. Sang montir membongkar ban. Taufik dengan sabar membantu montir melakukan tugasnya. Aku hanya terdiam. Kikuk. Hanya bisa mengamati apa yang sedang dilakukan oleh montir dan Taufik. Hatiku bergemuruh, rasanya aku menjadi orang yang tidak berguna malam itu.

Setelah semua beres, perjalanan berlanjut. Setelah hampir tujuh jam, kami tiba di tempat tujuan, rumah Taufik.

Senyum terkembang dari wajah kami. Rona kepuasan terpancar di wajah kami. Kami saling menatap tak percaya. Akhirnya mimpi kami terlaksana. Touring ke Bandung dengan motor.

***

Ahad sore kami meninggalkan Bandung.

Perjalanan pulang tak berbeda jauh dengan keberangkatan. Aku masih di belakang, begitu pula dengan Danie. Jalur yang kami tempuh berbeda dengan jalur keberangkatan. Kami mengambil jalur Lembang menuju Subang. Kami menyusuri perjalanan panjang di antara hamparan perkebunan teh dan persawahan, jalan seolah tak berujung, sangat melelahkan. Taufik dan Jamil masih bersabar memegang kemudi, meski sebenarnya aku dan Danie tahu, mereka telah sangat lelah menempuh jarak ratusan kilometer.

Saat memasuki kota Purwakata, kami beristirahat di sebuah SPBU. Di situ Taufik meminta aku menggantikannya mengendarai sepeda motor, begitu pula dengan Jamil. Saat itu tumpuan berpindah ke pundakku dan Danie. Kami harus memainkan peran kami sebagai driver. Kupacu sepeda motor. Kuawali dengan kalimat basmalah.

Saat hendak memasuki wilayah Karawang, kami rehat sejenak. Menyusun strategi. Jalur mana yang sebaiknya kami tempuh. Setelah semua sepakat, Taufik kembali mengambil alih kemudi, sedang Danie tetap berada di barikade terdepan sebagai driver.

Sungguh. Perjalanan pulang adalah perjalanan terberat yang harus kami lalui. Kami harus estafet, pindah dari satu kota ke kota lain, untuk dapat menemukan jalur menuju Depok. Purwakarta – Karawang – Bekasi – Bogor – baru sampai ke Depok.

Semoga semua yang telah kami lalui, menjadi pengalaman berharga di kemudian hari.

No comments: