Saturday, June 27, 2009

Pengantin Semalam

Hari duduk menghadap kiblat. Hatinya gerimis. Ia tak menyangka hidupnya akan menjadi seperti ini. Menikah atas dasar tekanan orang tua. Dengan gadis yang sama sekali jauh dari alam khayalnya selama ini.

Di bagian belakang, seorang gadis berjilbab putih duduk. Sesekali gadis itu mengarahkan pandangannya ke Hari, lelaki yang tak lama lagi resmi menjadi suaminya. Bibirnya menyungging senyum tipis kepada para undangan yang menatapnya.

Pak penghulu datang. Hari tampak tegang. Ia berkali-kali membetulkan posisi peci hitam yang dikenakannya pagi itu. Ia sempat menoleh ke arah wanita berjilbab putih. Sungguh, ia seorang wanita berparas ayu, lelaki manapun akan tertarik saat melihatnya, tapi tidak untukku, aku telah memutuskan pilihanku sendiri, batinnya.

“Ananda Azhary, sudah siapkah ananda untuk melangsungkan pernikahan?” tanya penghulu.

Hari tersadar dari lamunannya. Ia menganggukkan kepalanya.

Ananda Azhary bin Husain, saya nikahkan dan kawinkan engkau dengan Fatma Wulandari binti Yusuf dengan maskawin seperangkat alat shalat dan cincin seberat lima gram di bayar tu…nai!

Suasana hening. Azhary terdiam, tak mengikuti bimbingan penghulu. Hadirin menatap Hari tajam. Ia berusaha tenang.

Penghulu kembali bertanya padanya, siapkah ia menikah pagi itu. Hari tetap bungkam. Ibunya mendekat, duduk di samping Hari sambil berbisik, “Hari, apa-apaan kamu ini, jangan buat ibu dan bapak malu di depan orang banyak!”

“Maaf, saya tidak siap,” jawabnya mantap.

Hadirin tercengang mendengar jawaban Hari. Saat itu Hari sempat menoleh ke arah wanita berjilbab putih. Airmata menganak sungai di pipinya. Deras, membasahi jilbabnya. Hari berusaha tegar. Tak ingin terbawa perasaan. Ia ingin menggapai kebahagiannya. Menikah dengan wanita yang selama ini berada dalam benaknya. Wanita lembut berasal dari Bandung. Meski ia tak tahu siapa gadis itu.

Sang wanita berdiri. Berjalan setengah berlari. Meninggalkan Hari dan orang-orang yang ada di masjid pagi itu. Hatinya perih.

Orang tua Hari sibuk meminta maaf atas sikap anaknya. Pak penghulu beranjak pergi sambil menggelengkan kepala.

“Ibu benar-benar tidak menyangka kamu bisa setega itu, Har, ibu kecewa padamu!”

Hari menatap wajah ibunya. Airmatanya tertahan. Hari menyesal. Diciumnya tangan ibunya. “Bu… maafkan Hari. Hari sama sekali tidak bermaksud melukai hati ibu dan bapak, tetapi Hari tak bisa memaksakan diri, Hari sudah berusaha untuk mencoba hingga saat ini, tetapi hati kecil Hari menolak. Mohon pengertian ibu dan bapak.”

“Terserah kamu, ibu tak peduli!”

“Bu…, tolong maafkan Hari. Hari ingin ibu dan bapak tahu, Hari sudah sejak lama meminta bantuan teman untuk mencarikan Hari calon isteri, beberapa hari yang lalu, teman Hari memberi kabar, sudah ada seorang wanita shalihah yang siap menerima Hari, bahkan hari ini pun ia siap.”

Ibu dan bapak menatapnya lekat. Keduanya merangkul Hari erat.

“Baiklah…, kami juga meminta maaf padamu, Har. Kami tak sepatutnya memaksakan kehendak kami padamu, jika memang kamu ingin menikah hari ini, kami siap mengantarkanmu ke Bandung, menemui calon yang kamu katakan shalihah,” kata bapak.

***

Malamnya di Bandung. Suasana begitu hening. Tak ada penghulu, hanya seorang ustadz setempat yang ditunjuk sebagai penghulu dadakan.

Azhary bin Husain, aku nikahkan dan kawinkan engkau dengan Syafira binti Hendaryana dengan maskawin satu buah kitab suci Al Qur’an dibayar tu…nai!

Saya terima nikah dan kawinnya Syafira binti Hendaryana dengan maskawin tersebut, tu…nai!

Suasana mengharu biru. Kerabat dekat yang hadir tak kuasa menahan tangis. Berbagai doa kebaikan terucap malam itu. Mempelai wanita beranjak pergi. Di ruang tersebut hanya tersisa Hari beserta ibu dan bapaknya serta beberapa orang keluarga mempelai wanita. Hari menghabiskan malam itu bersama kakak lelaki isterinya. Berbincang santai. Keduanya tampak sangat akrab.

Pagi hari, makan pagi telah siap di meja makan. Ruang makan dipisahkan menjadi dua, satu untuk orang tua, satu lagi khusus untuk Hari dan Syafira beserta kakak lelakinya.

“Har, nanti kamu temani aku main badminton, ya…,” kata Kang Irvan, kakak Syafira.

Hari tersenyum.

“Loh, saya kan menikah dengan Syafira, Kang…, kenapa malah jadi lebih banyak bersama Kang Irvan?” kata Hari bercanda.

Kang Irvan merangkul Hari, “Sudah, pokoknya kamu tidak boleh menolak.”

Keduanya duduk di meja makan. Syafira yang sejak tadi menunggu, tersenyum simpul. Wajahnya tersipu malu.

Hari menatap wajah Syafira. Hari tersipu. Ditundukkannya pandangannya. Hari masih canggung menatap wajah wanita secara langsung.

“A…, katanya A Hari masih kuliah, ya?” tanya Syafira lembut.

Hari kembali menatap wajah isterinya. Sungguh cantik. Berbalut kerudung biru muda. Jantungnya berdebar kencang. Hari tak kuasa menjawab pertanyaan Syafira.

Hari membuka mata. Jantungnya masih berdebar. Peluh membasahi keningnya. Astaghfirullah…, jam berapa ini. Hari melirik jam di kamarnya, pukul 01.05 dini hari. Hari beranjak bangun untuk berwudhu.

No comments: