Tuesday, February 17, 2009

Bijak Memaknai Syahid

Dari Abu Hurairah ra., ia berkata, Rasulullah saw. bertanya, “Siapakah orang yang kalian anggap telah mati syahid di antara kalian?” Para sahabat menjawab: “Wahai Rasulullah, orang-orang yang mati terbunuh dalam peperangan sabilillah itulah orang yang mati syahid.” Beliau bersabda, “Kalau begitu, orang-orang yang mati syahid dari umatku, hanyalah sedikit.” Para sahabat bertanya: “Lalu siapa wahai Rasulullah?” Beliau bersabda, “Orang yang terbunuh dalam perang sabilillah adalah syahid. Orang yang meninggal karena wabah penyakit adalah syahid. Orang yang meninggal karena sakit perut adalah syahid, dan orang meninggal karena tenggelam adalah syahid.” (HR. Muslim)

Hadits Rasulullah di atas adalah gambaran betapa Rasulullah saw. sangat bijak menyikapi setiap problematika yang dihadapi umatnya, dalam hal ini masalah syahid khususnya. Lantas sangatlah wajar bila Rasulullah saw. menjelaskan kriteria lain dari syahid. Karena seperti yang dijelaskan oleh Rasulullah saw. bahwa apabila kriteria syahid harus melalui proses peperangan maka tak jarang seseorang akan menemui masa dimana ia memiliki uzur syar‘i yang menyebabkan ia tidak turut ke medan jihad.

Dalam surat at-Taubah ayat 122, Allah swt. berfirman, “Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang beriman itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.”

Coba kita bayangkan apabila semua orang shalih terjun ke medan peperangan tanpa terkecuali, dan kemudian Allah swt. menakdirkan mereka semua menjadi syuhada. Siapa yang kelak akan meneruskan estafet dakwah untuk meneruskan kelangsungan generasi setelahnya? Apakah kematian yang bergelar syahid yang melahirkan kepunahan dakwah dapat dijadikan sebagai suatu kebanggaan bagi umat?

Saya jadi teringat pada perkataan seorang pemimpin cabang ranting yang menyerukan ronda malam untuk menjaga keamanan atribut partai yang disebar di beberapa jalan yang mengatakan bahwa, “Untuk antum yang masih terdiam di rumah, apa antum akan terus diam sementara yang lain berjuang dan siap syahid?”

Padahal beberapa dari mereka yang mendapat seruan tersebut memiliki masalah masing-masing, ada yang seorang buruh komputer yang memerlukan konsentrasi untuk menyelesaikan tugasnya, bahkan ada pula yang merangkap sebagai pelajar di malam harinya. Apakah ini tidak termasuk ke dalam alasan syar‘i? Bukankah dalam Islam memenuhi kebutuhan hidup dari usaha sendiri juga termasuk hal yang penting? Lalu bagaimana jika kinerja menurun lantaran semalam suntuk seorang meronda menunggui bendera di jalan agar tak raib dicuri pesaing yang berujung pada pemecatan? Apa ini dapat dibenarkan secara syari‘at? Bukankah Rasulullah saw. menjelaskan bahwa ‘menghindari mudharat lebih utama ketimbang mencari kemaslahatan?’

Karenanya, syahid dapat terjadi dimana saja, pun di atas tempat tidur sekalipun, asalkan syarat dan ketentuannya terpenuhi dengan baik.

Wallahu a’lam bish shawwab.

No comments: