Thursday, December 4, 2008

Tea Walks


Di penghujung bulan November 2008, tepatnya Ahad, 30 November 2008, aku dan beberapa orang yang tergabung dalam Forum Alumni Rohis Nurussyamsi (FARISI) berangkat menuju daerah Cisarua – Bogor. Sesuai dengan rencana yang telah kami susun sebelumnya, hari itu kami akan melaksanakan Latihan Dasar Kepemimpinan untuk teman-teman Rohis sekolah kami, hari itu turut pula sekolah lain, Lingga Kencana.

Di dalam kereta api, aku sempat pesimis dengan acara LDK tersebut, apakah dapat berjalan sesuai rencana atau tidak. Pasalnya, kami memberlakukan ‘tarif’ super hemat bagi peserta, padahal kami tak memiliki donatur lain yang menyokong jalannya acara tersebut.

“Akhi…, ana tidak yakin jika uang yang ada ini cukup untuk transportasi pergi – pulang dan untuk keperluan lainnya.” Keluhku pada seorang panitia yang kala itu duduk di sampingku.

“Ya…, semoga semua berjalan sesuai rencana.” Jawabnya.

Lalu kamipun kembali terdiam, merenungi keadaan masing-masing. Beberapa saat kemudian temanku kembali membuka perbincangan, “Akh, antum tahu tidak kenapa Akh Dani tidak ikut? Seandainya ana tahu alasannya, ana tidak akan kecewa padanya. Baru saja ana kirim untuknya pesan singkat permohonan maaf ana kepadanya.”

“Tak tahulah, kata akh Jamil, Dani belum gajian. Maka dari itu ia tak ikut hari ini.” Jawabku.

Tak terasa kereta api yang kami tumpangi tiba di stasiun Bogor, kami semua bersiap turun. Hari itu terdapat 17 orang peserta yang ikut, namun satu hal yang cukup disayangkan, PJ peserta yang telah berjuang untuk merekrut peserta tersebut justru tidak dapat mengikuti acara karena sakit.

Dari stasiun Bogor, kami masih harus menempuh perjalanan dengan menaiki angkutan umum.

“Hingga saat ini dana yang tersisa masih cukup tidak?” Tanya temanku saat kami berada di angkutan umum menuju Gunung Mas.

“Alhamdulillah, hingga saat ini masih terkontrol dan sesuai prediksi.” Jawabku santai.

“Baguslah kalau begitu.” Katanya lagi.

Dua jam kemudian, kami tiba di pintu gerbang Agrowisata Gunung Mas. Saat itu supir angkutan umum bertanya mau diantar sampai mana, kukatakan padanya bahwa jika memungkinkan sampai dalam saja. Lalu pak supir memberikan penawaran kepada kami untuk membantu kami,

“Dik, tolong sediakan uang Rp 15.000 ribu ya, nanti saya bilang adik ini rombongan dari Ciawi, tetangga.”

Kami meng-iya-kan tawaran yang diberikannya. Lalu sesuai kesepakatan, kami memberikan uang Rp 15.000 padanya, sesampainya di pos penjagaan ia berkata kepada penjaga, “Ieu mah tatangga, dari Ciawi.” Kemudian ia menyerahkan uang Rp 15.000 tersebut.

Padahal tarif normal per orang dikenakan Rp 5.000 dan Rp 4.000 untuk pelajar. Akhirnya kami dapat menekan biaya yang harus dikeluarkan menjadi super minim.

Kini tiba saatnya kami memulai acara LDK. Seusai shalat zhuhur, kami briefing. Menyiapkan acara yang telah kami susun sebelumnya, mulai dari penentuan lokasi masing-masing pos, dan memeriksa kelengkapan peralatannya. Kemudian aku dan beberapa orang panitia mulai menyusuri kebun teh, sepanjang mata memandang, terhampar pepohonan teh yang hijau.

“Oh, ini pohon teh ya? Ana baru pertama kali melihat pohon teh.” Kata salah seorang sahabatku.

Kami semua tertawa. Di tengah perjalanan menentukan lokasi pos, aku menyempatkan diri untuk berfoto ria, “Akhi, tolong foto ana di sini ya.” Kataku pada temanku sambil memberikan telepon genggamku padanya.

“Ya ampun, di saat seperti ini antum masih saja narsiz ya...” Kata temanku sambil menerima telepon genggamku.

Aku memang sengaja memanfaatkan moment langka seperti ini, karena sangat jarang aku dapat menghirup udara pegunungan sekaligus menyaksikan keindahan alam ciptaan-Nya.

Aku mengambil posisi, berdiri di dekat hamparan pohon teh. “Klik…,” suara dari telepon genggamku, tanda bahwa pengambilan gambar telah selesai.

Setelah itu temanku yang lain berkata, “Saif, coba putar badan antum.”

Aku menuruti kata-katanya. Aku membalikkan badan agar ia dapat melihat bagian belakang badanku.

“Yups, ga ada. Ayo jalan lagi.” Katanya padaku.

“Eih…, maksudnya apa sih?” Tanyaku penasaran.

“Engga, ana hanya memastikan bahwa tidak ada ulat yang menempel di baju antum, karena di pohon teh itu banyak sekali ulat. Ana pernah lomba lho, kami disuruh jalan di antara pepohonan teh, lalu kembali lagi. Siapa yang paling banyak ditempeli ulat, dia yang menang.” Jawabnya.

Mendengar jawabannya membuat bulu kudukku merinding, jantungku berdebar.

“Hii…, kenapa bukan bilang dari tadi sih!” Kataku sambil memeriksa baju, tas dan celanaku secara seksama. Memastikan bahwa tidak ada ulat yang menempel.

Lalu kami melanjutkan perjalanan. Ups…, di tengah jalan aku dikejutkan oleh penampakkan dua ekor ulat yang diceritakan temanku tadi, aku merinding. Spontan aku langsung berlari kecil meninggalkan temanku bersama ulat yang berada di jalan tersebut.

“Ok. Kayaknya di sini cocok untuk pos dua.” Kata temanku.

“Duh, apa nggak salah ni, ko dekat sekali dengan pohon teh sih, ana geli nih.” Kataku sambil melihat-lihat ke tanah, khawatir jika ada ulat yang ‘kabur’ dari pohon.

Temanku tak merespon, ia kembali melanjutkan perjalanan untuk mencari lokasi yang tepat untuk pos tiga.

Kini tinggallah aku dan seorang rekanku yang bertugas menjaga pos dua. Di pos ini aku harus memerankan peran yang tidak biasa aku perankan, menjadi orang yang tegas, galak, dll. Tetapi aku mencoba melakukan yang terbaik untuk acara ini, untuk keberlangsungan dakwah di sekolahku.

Aku dan rekanku memikirkan game yang cocok. Yups, akhirnya kami putuskan untuk menggunakan kolam kecil yang terdapat di dekat kami, airnya hijau. Kami akan memerintahkan peserta untuk mengambil air itu, kemudian membasuhkannya ke muka mereka. Kami mengira bahwa mereka akan enggan melakukannya, apalagi yang wanita.

Beberapa menit kemudian datang dua kelompok wanita ke pos kami. Kami mulai menjalankan strategi yang telah kami susun. Memberi instruksi kepada mereka sesuai dengan rencana.

Ternyata sesuatu di luar dugaan terjadi, mereka melakukannya tanpa penolakan. Aku dan temanku berbisik, memikirkan apa yang harus dilakukan agar mereka mendapat pembelajaran. Akhirnya kami menemukan ide baru, menyuruh salah seorang dari mereka untuk berlari ke tempat yang lebih tinggi di belakang kami, melalui jalan sempit di antara pepohonan teh. Medannya cukup terjal, mereka harus berlari ke atas, mengamati dengan seksama apa saja yang terdapat di atas sana, kemudian kembali ke bawah hanya dalam hitungan 15 detik, jika gagal, mereka harus menerima hukuman. Akhirnya kami berhasil memberikan game berkesan untuk mereka.

Setelah semua kelompok melewati pos kami, salah seorang panitia yang mengontrol bertanya, “Antum memang sudah survei ke atas waktu suruh peserta naik?”

“Belum, mana mungkin kita survei. Kan si Saif taku ulat. That’s impossible.” Jawab rekanku dengan nada mengejek.

“Ok. Kalau begitu kita ke atas. Allah tidak suka dengan orang yang menyuruh melakukan sesuatu, sementara ia sendiri tidak melakukannya.” Kataku tegas. Aku mencoba menjawab tantangan temanku itu.

Ternyata di tengah jalan banyak sekali ulat yang terkapar, mati terinjak peserta. Aku menggidik. Tetapi aku menguatkan diri. Kemudian ketika kami kembali menuruni jalan itu, kukatakan pada temanku, “No impossible in this world, akh.”

“Ok…, ok…” Jawabnya. Lalu kami bergegas menuju tempat teman-teman dan peserta menunggu.

Setelah semua acara selesai, hujan mulai turun. Kami sangat bersyukur karena semua acara dapat berjalan lancar. Dengan diiringi hujan yang cukup deras, kami menuju tempat mobil angkutan umum menunggu. Menikmati indahnya nuansa hijau pepohonan teh di tengah hujan. Subhanallah.

No comments: