Thursday, December 11, 2008

Over-Protective

Seperti hari-hari sebelumnya, Farel mulai menyusun kata-kata di HP-nya. Rencananya ia akan mengirimkannya untuk teman-teman terdekatnya, mempererat hubungan persahabatan yang telah terbina.

Bertemu dgnmu adlh takdir
Menjadi sahabatmu adlh pilihan dan ksmptn
Melihat senyummu adlh kebahagiaan
Dan menjadi saudaramu adlh satu kesyukuran
Smg persahabatan ini kekal hingga ke surga-Nya


Begitu tulisnya pada pesan singkat di HP-nya. Sesaat kemudian ia mengirimkannya ke teman-teman yang daftar namanya telah dimasukkan ke dalam grup tertentu.

Begitulah sosok seorang Farel, ia memang senang sekali memberikan kata-kata indah penuh makna dan terkesan puitis. Hal itu dilakukan untuk menutupi kekurangan yang dimilikinya, sulit bersosialisasi. Dalam kehidupan normalnya, ia lebih cenderung untuk berdiam diri daripada mengumbar kata-kata yang baginya tidak terlalu penting untuk diucapkan, padahal secara psikologis ia memiliki beban batin yang sangat berat, sering kali ia memendam masalah yang dihadapinya. Ia tak tahu harus mencurahkan beban perasaan yang dipikulnya kepada siapa.

Ketika bertemu teman di sekolah atau di jalan, hanya senyum tipis yang terlihat di wajah seorang Farel, kemudian berlalu tanpa mengucapkan sepatah kata.

“Eh, kamu tahu nggak kenapa sih si Farel kok sikapnya aneh gitu? Kalau di SMS tuh dia sering banget bercanda tahu, tapi ketika berpapasan denganku, ia tidak menyapaku sama sekali, seolah kami tidak saling kenal.” Keluh Isma pada Andi.

“Yah, mungkin tidak biasa kali untuk menyapa orang lain duluan, tunggu kamu yang bertanya, baru dijawab.” Terang Andi pada Isma.

“Ih, yang benar saja, masa’ wanita nyapa lelaki duluan sih, malu donk. Nanti aku dianggap agresif lagi.” Kata Isma.

“Ya sudah, kalau begitu tidak perlu mempermasalahkan hal itu lagi ok. Kan kamu juga sama seperti dia, pasif.” Kata Andi sambil bangkit dari tempat duduk, kemudian berjalan santai meninggalkan Isma yang masih belum bisa menerima apa yang dikatakan Andi padanya.

###

“Rel, malam ini kamu ada acara tidak?” Tanya Andi pada Farel.

“Oh, iya ada. Malam ini aku ada pengajian pekanan, insya Allah. Memang ada apa?” Jawabnya.

“Nggak ada apa-apa kok, aku cuma tanya saja. Kalau kosong, rencananya aku mau sharing.” Kata Andi sambil tersenyum.

“Duh, maaf sekali ya. Semoga lain kali kita bisa sharing.”

Kemudian mereka berdua berpisah, pulang ke rumah masing-masing.

###

Sesuai rencana, setelah shalat isya Farel berangkat menuju tempat pengajian di rumah temannya dengan mengendarai sepeda motornya.

Sesampainya di sana, ia bertanya kepada temannya yang sudah lebih dahulu sampai, “Ustadz malam ini datang tidak?”

“Malam ini ustadz tidak hadir karena ada suatu keperluan, jadi kita malam ini diskusi saja plus bahas agenda yang akan kita lakukan nanti.” Jelas temannya padanya.

Seperti biasa acara dimulai dengan pembacaan Al-Qur’an, kemudian masuk pada inti acara, diskusi dan pembahasan proker.

Satu per satu dari yang hadir malam itu mengungkapkan usulan program, hingga sampai pada giliran seorang yang mengajukan untuk mengadakan jalan-jalan dengan agenda intinya adalah curhat. Teknis pelaksanaannya yaitu setiap orang satu per satu akan dipanggil untuk mencurahkan isi hatinya kepada ustadz.

Beragam tanggapan diberikan terhadap usulan tersebut, saat itu Farel mengomentari usul temannya, “Untuk saya pribadi, silakan saja jalankan program itu. Yang jelas, ketika saya dipanggil untuk curhat, saya mungkin tidak akan melakukannya karena saya tidak terbiasa membagi masalah kepada orang lain. Saya akan menyimpannya rapat-rapat selama saya masih sanggup menyelesaikannya sendiri. Dan kalaupun saya harus curhat, saya tidak ingin ada orang lain yang tahu, cukup saya, orang yang bersangkutan, Allah, serta para malaikat.”

Kemudian salah seorang dari mereka berkata santai, “Kalau begitu kesimpulannya adalah, Farel itu orang yang pelit.”

“Kalau menurut saya, tidak penting menurut kamu, belum tentu untuk yang lain. Bisa jadi ketika kamu membagi cerita kepada yang lain, hal itu dapat memberi wawasan baru sekaligus menjadi pelajaran.” Kata yang lain lagi.

Farel tersudut. Ia tak mampu berkata-kata lagi, hatinya perih.

###

Sesampainya di rumah, Farel kembali menyusun kata-kata di HP-nya. Ia bermaksud meminta maaf kepada teman-temannya atas apa yang telah diucapkannya tadi.

Akhi…, mhn maaf jika ada kata2
yang menyinggung atau melukai
perasaan, tp sbnrnya sy tdk b’mksd
menyinggung siapapun. Sy hny
mnympaikan isi hti. Skali lg sy mnt maaf.

Beberapa saat setelah pesan tersebut dikirim, ia menerima balasan dari salah seorang sahabatnya,

Akhi, hal itu tdk mslh, p’bedaan pndpt
itu wjr, yg t’pntng bgmn kita mnyikapinya.
Srn sy, “Bangunlah dr tidur pnjng, krn
kamu tdk hny hidup di dunia sms.
Cobalah m’buka diri pd lingkungn.
Msh ada dunia nyata yg hrs kamu jlni,
krn di dunia nyatalah cita-cita yg kamu
miliki dpt terealisasi.”


Air mata mengalir, menganak sungai di pipi Farel. SMS itu benar-benar membuat hatinya tersentuh. Membuatnya tersadar bahwa betapa selama ini dirinya telah menciptakan jarak antara ia dengan teman-teman dan lingkungannya, serta membuat dinding pemisah yang terlalu sulit ditembus oleh orang lain di sekitarnya.

Farel terisak hingga ia tertidur. Dan ketika ia tersadar, dari mushalla dekat rumahnya sayup terdengar adzan subuh berkumandang. Mengalun lembut, menyejukkan hatinya yang sedang galau.

No comments: