Thursday, January 1, 2009

Aksi Solidaritas Pelajar dan Mahasiswa RI Untuk Palestina


Senin lalu, tepatnya tanggal 29 Desember 2008 atau bertepatan dengan 1 Muharram 1430 H, aku dan beberapa orang teman semasa sekolah menghadiri Aksi Solidaritas Pelajar dan Mahasiswa RI Untuk Palestina di Bundaran HI, Jakarta.

Sehari sebelumnya kami telah memutuskan untuk berkumpul di Stasiun Depok Baru, dekat loket Jakarta pukul 7.00 WIB.

Sekitar pukul 6.45 HP-ku berbunyi. Satu pesan singkat masuk pada saat itu, isinya,

Ka, antum sdh dimana?
Ana dan tmn2 sudah kmpl.

Aku tak membalas pesan itu karena aku masih disibukkan dengan persiapan yang sedang aku lakukan, merapikan tas dan isinya. Beberapa saat kemudian aku bersiap untuk berangkat, setelah pamit pada orang tua, aku bergegas menuju ke luar rumah. Baru beberapa langkah, salah seorang temanku mengirimiku sms,

Akhi, afwan ya ana tdk jd brgkt
k sana. Slm utk yang lain.

Segera kubalas sms-nya,

Knp? Ant da halangan?

Beberapa saat kemudian ia mengutarakan beberapa alasan, salah satunya karena kakinya sedang sakit karena terkilir. Aku mencoba menghiburnya melalui sms, kususun kata-kata untuknya,

Ya, tidak apa2. “Menghindari mudharat
lbh utama drpd mencari maslahat.”
Ant istrht sj spy cpt pulih.


Namun belum sempat aku mengirim sms tersebut, ia kembali mengirim sms dan menyatakan siap berangkat walau agak terlambat. Kuputuskan untuk berpisah dari yang lain, menunggunya hingga ia tiba di stasiun. Saat itu ia datang sekitar 1 jam lebih lambat dari waktu kesepakatan. Kemudian kami mencoba mengejar waktu dengan menaiki KA jurusan Jakarta, kemudian melanjut­kan­ perjalanan ke Tanah Abang dari Stasiun Manggarai.

Setelah menunggu cukup lama KA jurusan Tanah Abang yang tak kunjung tiba di Stasiun Manggarai, akhirnya aku dan temanku memutuskan untuk melanjutkan perjalanan menuju Bundaran HI menggunakan bus Transjakarta, atau lebih dikenal dengan busway yang menjadi icon Jakarta saat ini.

Subhanallah, perjalanan hari itu memberi pengalaman baru pada kami yang sebelumnya belum sempat mencoba menggunakan fasilitas bus yang katanya bebas dari macet tersebut, yang memiliki jalur khusus.

Setibanya di lokasi kami langsung bergabung dalam kerumunan mahasiswa dan pelajar yang telah sampai lebih dahulu. Kami menyatukan lengan-lengan kami, menyusun simpul untuk melindungi peserta aksi wanita yang berada di dalam area simpul.

Yang menarik adalah ketika massa mulai sedikit gaduh, tarik menarik antar sesama pembuat simpul pun tak terelakkan. Saat itu koordinasi sedikit kacau, salah seorang korlap menginstruksikan kami untuk maju, kemudian ketika kami sudah maju mendekat ke mobil pembawa sound, kami dihadang oleh seorang mba mahasiswa. Dengan lantang ia berteriak,

“Mundur!! Pelajar mundur!! SAYA MAHASISWA!!! Yang maju hanya mahasiswa, tenangkan diri kalian! Tolong yang pelajar mundur!!”

Aku tersenyum mendengar kata-katanya. Kalau saja dia tahu orang di sebelahku adalah seorang mahasiswa semester VII yang sebentar lagi menyusun skripsi, mungkin ia tak akan berkata seperti itu. Luar biasa mba mahasiswa itu, SEMANGAT!

Setiap beberapa menit, simpul manusia itu akan bergerak memutar posisi orang-orangnya, sehingga setiap orang akan merasakan berada di barisan terdepan, yang berhadapan langsung dengan bapak-bapak dari SAMAPTA Polda Metro Jaya yang mengawal aksi kami.

Saat itu terbayang bagaimana keadaan para pejuang di Palestina ketika berhadapan dengan tentara Zionis Israel. Tetapi yang kurasakan saat berhadapan dengan pak polisi belumlah sebanding, karena saat itu kami masih dapat tersenyum, kami tak mendapat perlakuan kasar ataupun dibayang-bayangi dengan teror bom dan gas air mata, tidak seperti saudara-saudara di Palestina yang hari-harinya dipenuhi suasana mencekam, yang berujung pada tumpahnya darah para mujahid pembela agama Allah.

Saat berada di bagian belakang pusat orasi, suasana cenderung pasif dan bisu karena sound system yang ada dilarang digunakan oleh pak polisi. Akhirnya korlap memutuskan untuk membagi orasi pada beberapa titik dari kerumunan massa dengan bantuan megaphone. Saat itu panitia mendekat ke arahku, kemudian meminta orang yang berada di sebelah kiri temanku untuk berorasi, menghidup­kan suasana yang saat itu seolah mati. Seorang mahasiswa beralmamater maju dengan tatapan kosong, ia tampak sangat bingung, tak tahu harus berorasi apa saat itu. Akhirnya ia mencoba menyemangati peserta aksi dengan meminta mereka bernyanyi dan bertakbir, kemudian kembali terdiam. Hingga akhirnya ia meminta aku atau temanku yang tak beralmamater untuk menggantikannya, kami menolak dengan halus. Saat itu lewat di hadapan kami seorang penjual tahu. Kemudian aku mulai mencandai temanku, aku bisikkan padanya,

“Orasi seorang penjual tahu. ‘Rekan-rekan sekalian, kita sudah terlalu banyak diam sejak tadi tanpa tahu apa-apa, tidakkah kita tahu bahwa rakyat Palestina tidak bisa diam menunggu walau hanya semenit bahkan sedetik. Jangan biarkan kebisuan membuat kita tidak tahu apa yang seharusnya kita tahu. Beri tahu apa yang kita tahu kepada mereka yang tidak tahu, beri tahu penderitaan yang dirasakan oleh rakyat Palestina kepada dunia, hingga dunia tahu ada kezhaliman disana.’”

Temanku tertawa mendengarnya, lalu memintaku untuk maju. Aku tersenyum, kukatakan padanya bahwa aku tak mengenakan almamater, hanya kemeja yang telah usang.

Dalam aksi tersebut, sedikitnya 10 orang rekan mahasiswa ‘diamankan’ oleh pak polisi, semoga Allah memberi pertolongan kepada mereka semua. Aamiin.

Wallahu a’lam bish shawab.

No comments: