Thursday, October 23, 2008

Ikhlas Itu di Hati

“Ikhlas itu di hati dik.” Kata Iwan pada isterinya, ia lalu melanjutkan rutinitasnya, memasak.

Sejak isterinya hamil, ia memang mengambil alih semua tugas isterinya, ia tak ingin kandungan isterinya keguguran karena lelah dengan pekerjaan rumah tangga.

“Tapi mas…, aku tak tega melihat mas yang baru pulang kerja harus masak sendiri, aku malu pada Allah mas.” Kata isterinya sambil terisak.

Iwan mendekati isterinya, dirangkulnya isterinya, disapunya air mata isterinya dengan jari-jarinya yang tak halus, lalu Iwan berbisik, “Dik, yakinlah bahwa semua akan baik saja. Yang terpernting saat ini adalah kandunganmu, bukankah kita sama-sama menginginkannya? Sudah 3 kali kamu keguguran, jadi aku tak ingin hal itu terulang. Dan yang tak kalah penting, rumah tangga bukan perusahaan di mana masing-masing kita memiliki tugas masing-masing, tapi dituntut kerjasama dan saling melengkapi.” Iwan lalu mengecup kening isterinya.



Cerita singkat tanpa judul di atas adalah sebuah cerita singkat yang kutulis ketika aku mendapatkan bonus SMS dari provider yang kugunakan, 100 SMS dengan tarif Rp 0,1/ SMS.

Setelah beberapa menit tanganku bermain di atas tombol HP, terciptalah cerita di atas. Lantas kukirim kebeberapa orang terdekat, cukup banyak respon yang diberikan ketika mereka membacanya. Ada yang mendo’akan agar aku segera mendapat pendamping yang akan mendampingiku mengarungi jalan da’wah, ada pula yang bertanya seperti ini, “Afwan ini nomor siapa? Kok narasinya bagus bgt.” Mungkin nomorku terhapus dari daftarnya, dan sebenarnya itu dibuat secara spontan, tanpa kerangka dan penetapan alur cerita sebelumnya, jadi kalau dibilang bagus tentu aku senang. Ada pula yang bilang sudah baca di blog-ku.

Yang tak kalah seru adalah komentar dari guru ngajiku, beliau bertanya begini, “Akh Saiful ini apa maksudnya?”

Kujelaskan pada beliau bahwa tidak ada maksud apa-apa, aku hanya memanfaatkan moment 100 SMS tersebut. Dan setelah kupikir cukup lama, aku baru ingat bahwa isteri beliau sedang hamil. Aku sempat khawatir beliau tersinggung, tapi aku mencoba ber-husnuzh zhann bahwa beliau tidak akan berpikir demikian.

Ada lagi komentar dari teman semasa sekolah, “Lagian belum nikah tulisannya kayak gitu.” Aku menanggapi komentarnya dengan tawa.

Dan yang paling akhir, ia mengirim SMS balasan seperti ini, “Subhanallah walhamdulillah wallahu akbar. Laa haula walaa quwwata illa billah.. Afwan sblumnya, btw antm dah nikah syaikh? Anak? Anyway, syukran atas nasihat antm.”

Lalu kujawab SMS-nya, “Aduh, afwan ana blm walimah, tp ant ambil saja apa yang bs diambil, ant jangan lht latar belakang penulisnya ya, dan ana tdk bermaksud sok tahu kok. Lagipula msh ada wkt 3thn sblm ana memasuki usia sunnah Rasul (25thn) ntr mau dikasih mkn apa kl nkh skrg. Hehe…”

Oya, ternyata SMS itu indent lho…, alias ditunggu-tunggu oleh sepupuku, ia memintaku untuk mengirim SMS itu ke nomor suaminya, tapi kujawab “Sabar ya, lagi tunggu dapat bonus lagi ni.”

Walhamdulillahi rabbil ‘aalamiin…

No comments: