Helmet at Flyover
“Ful, nanti antar ke ITC ya…, mau beli anggur untuk ifthar bareng teman di Nuris.” Kata kakakku pagi itu.
“Jam berapa?” Jawabku.
“Ba’da zhuhur, ya…, kira-kira jam satuan deh.”
“Huh, yang benar saja, panas-panas keluar rumah, mana sanggup.” Kataku dengan nada memelas.
“Ya Allah…, ingat! Memudahkan urusan orang lain tuh pasti akan diberikan kemudahan juga sama Allah untuk urusan ente, lagian inikan bulan Ramadhan, harus memperbanyak amal shalih ok. Trus sambil tunggu kan bisa juga baca Qur’an, biar cepat khatam.” Kata kakakku semangat sambil senyum optimis.
Ba’da zhuhur kami berangkat dengan sepeda motor Vega-R orange. Di tengah perjalanan aku dikejutkan oleh sebuah sepeda motor yang dikendarai oleh seorang ibu berkerudung dengan help kaca gelap, ia berhenti di tengah jalan. Segera ku-rem sepeda motorku, tapi sayang jarak terlalu dekat. Akhirnya aku menabrak ban depan motor ibu tersebut sebelum akhirnya motorku berhenti, untungnya kecepatan telah berkurang, jadi tak ada adegan jatuh ataupun loncat indah siang itu. Aku diam, menunggu reaksi si ibu yang sedang mengarahkan pandangannya ke arahku. Lama, akhirnya ia melaju sambil melontarkan sebuah kalimat yang membuatku tersenyum,
“Baru belajar ya…, bla-bla-bla.” Aku tak terlalu memperhatikan kalimat selanjutnya. Sabar ya bu, kita sedang puasa nih, maaf lahir batin.
Selang beberapa menit kami tiba di ITC. Aku memutuskan menunggu di Masjid al-Barkah dekat basement, membaca ayat-ayat cinta dari-Nya.
“Mas…, mas…,” kata seorang anak kecil padaku ketika aku sedang membaca Qur’an. Kupandangi ia, aku tak mengenalnya. Lantas ia mengarahkan telunjuknya ke luar masjid, ternyata kakakku meminta bantuannya untuk memanggilku.
Aku bergegas keluar, kumasukkan Qur’an ke dalam tas. Lalu menuju motor yang sudah menunggu di parkiran. Kunyalakan mesin. Brum…, bruuumm…, tarik…. Kami bersiap pulang ke rumah. Di flyover aku menambah kecepatan. Tiba-tiba, wusss…, helm catok yang dipakai kakakku melayang di jembatan layang.
Aku menepi, jarak sudah cukup jauh. Aku turun dari motor, dari jauh terlihat helm itu tergeletak di tengah jalan. Baru beberapa langkah, tiba-tiba mobil sedan ‘menelan’ helm itu. Helm itu tersangkut di bagian bawah mobil sedan, terus terseret entah hingga ke mana. Akhirnya kami pulang tanpa berhasil menemukan ke mana sedan itu membawa helm yang melayang di jembatan layang.
Palang Perlintasan KA
“Palang perlintasan bukanlah alat pengamanan utama atau rambu lalu lintas, oleh sebab itu berhati-hatilah dalam melintasi perlintasan kerata api. Di tempat lain, masih banyak perlintasan yang tidak di jaga dan tidak berpintu. Bla…, bla…, bla…,”
Ya…, itulah bunyi undang-undang nomor 13 tentang perkerata-apian Indonesia. Undang-undang itu selalu terdengar bersamaan dengan ditutupnya palang pintu perlintasan KA. Mengingatkan agar pengendara lebih waspada dan berhati-hati ketika melintasi jalur KA.
Jum’at lalu, aku menemani temanku menuju sebuah tempat petemuan di Tanjung Barat. Ketika hendak melintasi perlintasan KA Tanjung Barat, terdengar bunyi nyaring yang menandakan bahwa tidak lama kemudian akan lewat kereta rangkaian listrik, “Nung…, nung…, nung…,”
Temanku mengambil posisi tengah depan, tujuannya agar dapat segera melaju ketika rangkaian KRL telah lewat. Di samping kami ada 2 buah angkutan umum berwarnah merah, T19. Di bagian pinggir jalan ada sebuah sepeda motor yang juga sedang menunggu untuk melintasi perlintasan KA.
Palang perlintasan turun perlahan, menutup jalan agar tak ada kendaraan yang lewat ketika KA melintas. Tiba-tiba ada kejadian yang membuat panik orang-orang saat itu termasuk aku dan temanku. Palang itu menimpa kepala pengendara motor di bagian pinggir jalan tadi. Temanku mencoba menahan palang, tapi tak berhasil karena terlalu berat. Menyaksikan kejadian itu seolah kami dihadapkan pada saat eksekusi potong leher dalam film.
Dengan usaha super maksimal ia mencoba mengeluarkan kepala dari helm sebelum palang itu mematahkan tulang lehernya. “Slesss…,” akhirnya usahanya berhasil. Ketegangan berganti dengan tawa.
Sesaat aku berpikir, teringat kepada ceramah dari seorang ustadz pada khutbah Jum’at. Isinya tentang muraqabatullah, selalu merasa diawasi Allah. Ustadz itu mengilustrasikannya dengan menceritakan perbedaan pengendara kendaraan bermotor di Indonesia dan luar negeri.
“Saya pernah mendapat cerita dari teman yang bekerja di pelayaran. Di luar negeri sana menurut informasi yang diberikan teman saya tersebut, ketika lampu lalu lintas berpindah dari hijau ke kuning, maka pengendara berlomba-lomba menginjak rem. Tapi coba kita bandingkan dengan pengendara di Indonesia, kira-kira apa yang akan dilakukan ketika lampu berpindah ke kuning?”
“Yang dilakukan tidak lain adalah berlomba-lomba tancap gas, alasannya takut tertahan dilampu merah. Betul tidak?” Lanjut sang ustadz.
Sunday, October 12, 2008
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment