Tuesday, August 26, 2008

Rindu Deli


“Oya Feb, sudah berapa tahun nggak pulang?” Tanya Saiful padaku ketika aku sedang mengemasi barang-barang, hari ini aku akan meninggalkan RS, rasanya tidak sabar menunggu paman datang menjemput.

“Ini tahun kedua bang.” Jawabku sambil memasukkan HP ke dalam tas cangklong.

“Rencananya pulang tak?” Tanya Saiful lagi.

Aku menggeleng. Rindu memang, tapi untuk saat ini hal itu belum dapat diwujudkan, masih banyak pekerjaan yang harus diseselaikan di sini, salah satunya adalah pendidikanku karena tujuanku ke Depok memang untuk melanjutkan studi. Sebelumnya aku pernah menempuh pendidikan di salah satu perguruan tinggi di Medan jurusan sosial politik, tapi aku mengundurkan diri. Sahabatku ikut mengundurkan diri kala itu, namun ketika aku ‘terbang’ ke Depok untuk melanjutkan studi, ia memilih ‘terbang’ ke Aceh untuk bekerja.

“Memang dari mana kau?” Tanya pasien di sampingku dengan logat khas Medan, ia baru tadi malam dirawat di ruang tempatku dirawat.

“Dari Deli pak.” Jawabku pelan.

“Wah, orang tua nggak menjenguk?” Katanya lagi.

“Yah, yang penting do’a dan uangnya pak.” Kataku sambil tersenyum pada Saiful.

Tak kupungkiri, aku memang rindu rumah, rindu pada ayah ibu serta adik dan kakakku. Entah bagaimana kabar mereka saat ini. Yang tak kalah adalah rinduku pada masa ketika aku masih kecil, hidup dalam lingkungan keluarga sederhana yang kaya akan perhatian dan kasih sayang.

Suatu sore nenek memanggilku yang saat itu sedang bermain bersama teman di halaman depan,

“Feb, ke sini sebentar.” kata nekek, saat itu duduk bersama nenek dua orang adik dan seorang kakak perempuanku. Biasanya jika sudah berkumpul seperti itu, nenek akan menceritakan kisah hidupnya atau mendongeng cerita legenda untuk kami.

Dengan setengah berlari aku menghampiri nenek, aku penasaran akan mendapat cerita apa hari ini.

“Sini-sini, duduk dekat opah.” Kata nenek sambil mengelus punggungku dengan lembut.

“Bagaimana, sudah siap tak dengar cerita opah?” Tanya nenek dengan logat melayu. Kami semua mengangguk. Aku menyandarkan daguku pada kedua telapak tanganku sambil memandangi nenek.

“Dengar baik-baik ya…, sekarang opah nak cerita tentang Putri Hijau, seorang Putri yang sangat cantik. Kecantikannya terkenal hingga ke Aceh dan Jawa sana.”

“Jawa? Tempat opah tinggal dulu ya?” Tanyaku menyela cerita nenek.

“Iya, dulu opah tinggal di sana.” Jawab nenek sambil mengelus kepalaku.

“Wah, kalau sudah besar nanti sayè nak ke sana opah, bisa tak?” Kataku bersemangat.

“Iya, Insya Allah awak pasti dapat kunjung ke sana nanti.” Kata nenek padaku. Sorot matanya menandakan keoptimisan, tatapan yang membesarkan hatiku yang masih kecil kala itu, harapan seorang anak kelas 3 SD.

“Nah, sekarang opah lanjutkan ceritanya ya. Suatu masa, Sultan Aceh datang nak melamar Putri Hijau. Rupanya Sultan Aceh tu jatoh cinta pada Putri Hijau. Tapi, dua orang saudara laki-laki Putri Hijau itu tak rela, lantas mereka tolak lamaran Sultan Aceh. Sultan Aceh marah, akhirnya terjadilah perang antara Kesultanan Aceh dengan Kesultanan Deli.

Kala perang nak berlangsung, tiba-tiba saudara laki-laki Putri Hijau menjelma menjadi seekor ular naga, dan yang satu lagi menjadi pucuk meriam yang terus menembaki tentara Sultan Aceh.”

“Ular naga tu macam apè opah?” Tanya adikku.

“Oh, Ina belum tahu ya. Coba sekarang Ina ke dapur, lalu ambil bungkus kopi warna cokelat di meja dan bawa ke sini.” Kata nenek. Sesaat kemudian adikku kembali dengan membawa bungkus kopi yang diminta nenek. Diserahkannya bungkus kopi itu, lalu ia kembali duduk.

“Nah, ini dia gambar ular naga…,” kata nenek sambil menunjukkan kepada kami gambar ular bertanduk di bungkus kopi.

“Tapi ular naganya panjang sekali, dapat menelan tentara Sultan Aceh. Setelah beberapa masa lamanya, akhirnya Kesultanan Aceh berhasil taklukkan Kesultanan Deli Lama. Kerana kecewa, tiba-tiba…, bumm…, duaar…, saudara laki-laki Putri Hijau yang menjelma menjadi meriam meledak, bagian belakangnya terlontar ke Labuhan Deli, dan bagian depannya ke dataran tinggi Karo sana.”

“Opah…, opah…, ular naganya ke mana?” Tanya kakakku.

“Ular naga itu masuk ke dalam laut yang dalam, sembunyi di sana. Selepas itu, tentara Sultan Aceh menangkap Putri Hijau. Dia dimasukkan ke dalam peti kaca agar tidak lari.

Para tentara Sultan Aceh membawa Putri Hijau dengan kapal. Ketika kapal sampai di Aceh, Putri Hijau meminta dibuatkan upacara untuknya sebelum peti tempatnya dikurung diturunkan dari kapal. Putri Hijau meminta beras dan beribu-ribu telur.

Kala upacara dimulai, tiba-tiba berhembuslah angin topan disusul gelombang-gelombang air laut yang sangat tinggi, lantas ular naga yang bersembunyi di dalam laut keluar.

Hap… ular naga menelan peti yang mengurung Putri Hijau, peti itu dibawanya ke dalam laut.

Nah, akhirnya Putri Hijau tak jadi dibawa ke Sultan Aceh. Suatu masa kitè orang kunjung ke Deli Tua ya, kitè lihat sama-sama sisa reruntuhan benteng dan puri yang berasal dari zaman Putri Hijau, nanti kitè ke Istana Maimun juga melihat sisa meriam penjelmaan abang Putri Hijau, meriam itu diletakkan di halaman Istana Maimun. Nak ikut tak?” Kata nenek pada kami.

“Nak…” Jawab kami serempak.

###

“Ow, Febri bukan dari Medan ya? Deli itu di mana sih Feb?” Tanya Saiful, aku tersadar dari lamunan tentang kisah kecilku di Deli. Kisah hidup yang tak mungkin kulupa, begitupun dengan legenda Putri Hijau warisan sejarah yang diceritakan nenek padaku, kisah yang tak hanya dikenal di Deli, tapi dikenal pula oleh masyarakat melayu di Malaysia.

“Iya bang, kalau Medan itu kan kotanya bang, kalau Deli itu seperti perkampungan melayu di Medan. Di sana dulu ada Kesultanan Deli, istananya itu Istana Maimun bang. Tapi Febri sih bukan dari keluarga ningratnya, ya…, rakyat biasa bang.” Kataku sambil tersenyum.

“Wah seru ya, pantas saja Febri beda.” Kata Saiful lagi.

“Iya bang, Istana Maimunnya masih ada kok, tapi sultannya sudah nggak ada, keluarganya juga masih ada bang, sekitar 37 kepala keluarga sampai sekarang masih tinggal di istana. Oya bang, orang Medan itu memang gitu kok, mereka itu kalau bicara memang tegas, tapi sebenarnya hati mereka baik kok.” Kataku pada Saiful, aku mencoba meluruskan cara pandannya yang menganggap bahwa orang Medan itu kasar bicaranya.

“Ok deh, suatu saat nanti ajak saya ke tanah kelahiranmu ya…,” kata Saiful sambil tertawa.

No comments: