Tuesday, August 19, 2008

Haruskah Aku Putus Sekolah?! (Lengkap)

“Alif…, Alif…, bangun sayang, kita harus siap-siap sekarang nak.” Ibu membangunkan Alif yang sedang tertidur pulas, ditepuk-tepuknya tubuh kecil itu pelan.

Hari ini keluarga Pak Hamid harus bergegas menuju terminal bis di kota Tasik. Hari ini mereka sekeluarga akan hijrah ke Depok, kota di mana Pak Hamid memperoleh pekerjaan sebagai seorang guru bantu di SD Negeri Pancoran Mas VII. Ini adalah pilihan yang harus diambil agar mereka tetap bisa menyambung hidup setelah 3 bulan yang lalu Pak Hamid kehilangan pekerjaannya karena sekolah tempatnya mengajar hangus terbakar.

Selama 2 bulan Pak Hamid berusaha mencari pekerjaan, namun tak membuahkan hasil. Akhirnya sebulan lalu ia memperoleh informasi dari seorang teman yang berdomisili di Depok bahwa saat ini sedang ada perekrutan guru bantu. Akhirnya ia mencoba mengajukan diri menjadi guru bantu. Setelah menjalani beberapa tes akhirnya Pak Hamid diterima.

###

Perlahan Alif membuka matanya, lalu duduk dan memperhatikan kesibukan ibu bapaknya yang sedang mengepak barang. Pukul 4.00 pagi. Rencananya mereka akan berangkat dari terminal Tasik pukul 6.00 dengan menggunakan bis cepat Tasik – Depok. Perjalanan dari rumah ke terminal sekitar 50 menit, jadi setelah shalat subuh Pak Hamid sekeluarga akan langsung berangkat ke terminal.

“Mau ke mana kita bu?” Tanya Alif dalam keadaan setengah sadar, ia mengarahkan jari-jari ke kelopak matanya, menguceknya untuk memperjelas penglihatannya.

“Kita akan pindah rumah nak, ke tempat yang jauh dari sini. Bapak akan mulai mengajar di sana besok.” Jelas ibu padanya sambil memasukkan pakaian Alif ke dalam tas.

“Ke mana bu? Sekolah Alif gimana?”

“Kita akan pindah ke Depok nak, nanti Alif sekolahnya juga pindah ke sana.”

“Tapi bu, aku kan belum bilang ke teman-teman dan bu guru.”

“Itu sudah diurus sama bapak, Alif. Ayo kamu cepat mandi dan siap-siap shalat, setelah itu kita langsung berangkat.”

Alif bangkit dari tikar tempatnya tidur, dan berjalan menuju kamar mandi. Beberapa menit kemudian ia keluar, lalu sayup-sayup terdengar suara adzan mengalun memecah keheningan.

Pak Hamid dan isterinya shalat sunnah dua rakaat. Setelahnya Alif iqamah tanpa komando. Pak Hamid lalu mengimami isteri dan anaknya, Alif.

Seusai shalat mereka menuju rumah Pak Ali, si empunya rumah yang ditempati Pak Hamid selama ini, mengembalikan kunci rumah dan berpamitan pada beliau.

“Tuk… tuk…” Pak Hamid mengetuk pintu rumah Pak Ali.

Beberapa saat kemudian pintu dibuka, dari balik pintu tampak seorang wanita paruh baya yang masih mengenakan mukena. Ia adalah Bu saidah, isteri Pak Ali.

Punten Bu Saidah ngaganggu enjing-enjing kieu. Pa Ali-na aya?”1

Aya, ké antosan sakedap nya pa, urang sauran. Pa Ali nuju ngaos di kamar.”2

Mangga bu, hatur nuhun.”3

Beberapa menit kemudian Pak Ali keluar ditemani isterinya.

Euleuh, aya naon gening pa? Enjing-enjing tos nganjang ka rorompok?”4

Janten kieu pa, abdi badé ngamulihkeun konci rorompok sakantenan badé pamit. Dinten ieu abdi badé mios ka Depok badé didamel sareng calik diditu pa.”5

Meni ngadadak pisan gening?”6 Kata isteri Pak Ali.

Puguh muhun, abdi nembé kénging infona gé sonten kamari. Sareng enjing tèh kedah tos ngawulang diditu.”7

Oh, muhun atuh kitu wé, abdi sakulawargi pamit. Hapunten kana sagala kalepatan. Nyuhunkeun pidu’ana ka sadayana.”8 Kata Pak Hamid mengakhiri pembicaraan.

Sami-sami pa, kahadé di jalan nya… sing barokah sareng sukses.”9 Kata Pak Ali sambil merangkul Pak Hamid erat, isteri Pak Ali menyalami isteri Pak Hamid dan mencium kening Alif.

“Mari pak, bu, assalamu’alaikum.”

“Wa’alaikum salam warahmatullahi wabarakatuh.”

###

Sesampainya di terminal, mereka langsung menuju tempat pemberangkatan bis antar kota. Menaiki tangga di lorong terminal, dan berjalan cepat menuju bis cepat jurusan Tasik – Depok.

Alif memperhatikan bangunan terminal yang masih baru, sungguh megah dan tertata rapi. Terminal yang merupakan terminal terbaik se-Parahiyangan ini memiliki bangunan di bawah tanah untuk angkutan dalam kota, sedang untuk bis antar kota di bagian atas.

Sepanjang jalan menuju bis cepat, para kernet bis lain tak henti-hentinya menawari mereka untuk naik bis mereka. “Kemana pak? Naik ini saja!” Seru para kernet lantang.

Pak Hamid hanya menjawab dengan senyum sambil terus berjalan. Ia khawatir tertinggal karena bis cepat yang akan dinaikinya sangat tepat waktu.

“Itu bisnya bu.” Kata Pak Hamid sambil menunjuk ke arah bis besar berwarna silver.

10 menit menjelang keberangkatan, Pak Hamid, isterinya dan juga Alif sudah duduk di dalam bis. Mereka terdiam. Melihat ke luar bis dan memandang setiap sudut terminal, sebentar lagi mereka akan meninggalkan kota kelahiran mereka dan juga anaknya. Merantau ke daerah baru agar tetap dapat menyambung hidup.

Tepat pukul 06.00 bis meninggalkan terminal Tasik. Rasa haru mulai menyeruak ke dalam hati. Butiran-butiran bening keluar dari kelopak mata ibu.

“Bu, kenapa? Apa ibu merasa berat untuk meninggalkan Tasik?” Tanya Pak Hamid.

“Ah nggak kok pak, ibu hanya teringat masa kecil ibu. Tak disangka kini ibu harus meninggalkan tanah kelahiran.”

###

Setelah menempuh perjalanan hampir 6 jam, mereka tiba di terminal yang tak terlalu luas. Bangunannya bisa dikatakan tak terawat dengan baik. Letaknya di samping pusat perbelanjaan ITC.

Pintu bis dibuka, penumpang turun satu per satu. Udara panas menyambut kedatangan mereka di Depok, tempat di mana mereka akan mengadu nasib agar dapat bertahan hidup. Udara di Depok memang tak sesejuk di Tasik. Jika musim panas tiba, panas siang hari terasa begitu menyengat kulit.

“Ayo bu cepat.” Kata Pak Hamid sambil menenteng tas besar berisi pakaian dan beberapa barang alat rumah tangga.

“Kita naik angkutan umum 03 itu bu.” Pak Hamid menunjuk ke arah angkutan umum berwarna biru yang sedang ‘ngetem’ menunggu penumpang.

Isterinya dan Alif mengekor. Mereka mempercepat langkah untuk menghindari sengatan matahari.

Alif masuk ke angkutan umum, mengambil posisi di bagian belakang sebelah kanan. Kemudian ibu masuk dan duduk di samping Alif. Bapak masih di luar, memasukkan tas dan barang bawaan ke angkot. Kebetulan angkot yang mereka naiki masih kosong karena ini hari Minggu, hari sepi penumpang.

“Ke mana pak?” Tanya supir.

“Perlimaan Pasar Lama pak.” Jawab Pak Hamid sambil memasukkan sisa barang bawaan.

Setelah semua barang masuk, pak supir membawa mereka meninggalkan terminal menuju tempat yang tadi disebutkan Pak Hamid. Untung, jika angkotnya tidak langsung jalan, pasti udara di dalamnya bak oven yang sedang digunakan untuk memanggang adonan roti.

“Kita akan tinggal di mana pak?” Kata ibu sambil menyeka keringat di kening Alif. Tampaknya Alif tak kuat menahan udara panas. Ibu mengambil botol air minum dari tas dan memberikannya pada Alif.

“Di dekat tempat bapak mengajar bu, kebetulan bapak sudah menyewa rumah pekan lalu ketika bapak tes wawancara. Namanya Kampung Baru. Tidak terlalu besar, tapi cukup untuk kita bertiga.”

Setelah 15 menit berada dalam angkot, mereka kini sampai di perlimaan jalan. Di jalan inilah angkot-angkot di Depok berpisah, 03 akan berjalan terus ke arah Sawangan, 07 mengambil arah kiri perlimaan menuju Jembatan Serong, 01 masuk ke jalan yang melintasi perum Depok Jaya. Beberapa angkot lain akan mengambil jalur yang sama dengan 03, kemudian baru akan bertemu jalur sendiri setelah melalui jalur 03 itu.

“Depan kiri ya pak…” Pak Hamid memberhentikan angkot yang ditumpanginya. Semua barang diturunkan terlebih dahulu, kemudian Alif dan disusul Ibu. Ketiganya berjalan menuju kontrakan yang tak jauh dari tempat mereka turun.

“Nah, itu dia rumahnya bu.” Kata Pak Hamid sambil menunjuk ke sebuah rumah kontrakan yang tak terlalu luas berwarna biru muda. Ibu dan Alif tersenyum, kemudian mereka mempercepat langkah menuju rumah agar bisa beristirahat dan menunaikan shalat zhuhur.

###

Tak terasa hampir setahun berlalu sejak siang itu, Alif sudah memiliki banyak teman di sekolah dan lingkungan tempatnya tinggal. Prestasi akademisnya pun cukup menonjol. Tapi hingga hari itu kondisi keuangan keluarga belum menunjukkan perkembangan ke arah yang lebih baik. Gaji yang diterima Pak Hamid hanya cukup untuk membayar sewa rumah dan membeli kebutuhan pokok seperti beras, sisanya akan dicari kemudian. Istri Pak Hamid pun telah mencoba meringankan beban keluarga dengan berjualan jajanan di pagi hari. Setelahnya ia menjadi kuli cuci pakaian tetangga.

“Pak..., kemarin Alif bawa surat dari sekolahnya, surat peringatan karena sudah 4 bulan SPP-nya belum kita bayar.” Kata Bu Hamid ketika memijat kaki suaminya selepas shalat maghrib, Alif sedang di mushalla, mengaji.

“Iya bu, bapak akan usahakan cari uang untuk membayarnya.” Jawab Pak Hamid.

“Tapi dari mana kita dapat uang itu pak? Apa bapak akan pinjam dengan teman?”

“Pinjam? Tidak bu, bapak tidak mau berurusan dengan orang lain dalam hal hutang, bapak takut. Tidak berhutang adalah prinsip yang selalu bapak pegang teguh sejak dulu hingga kini, dan di hari nanti. Bapak trauma bu, ketika duduk di bangku SMA, orang tua bapak menggadaikan surat tanah pada seorang rentenir, meminjam uang agar bapak tetap bersekolah. Tapi apa yang terjadi bu? Akhirnya orang tua bapak kehilangan harta satu-satunya karena bunganya terus menumpuk. Bapak tidak ingin hal itu terulang kembali.” Kata Pak Hamid sedikit emosi. Kenangan bersama orang tuanya yang pahit membuat Pak Hamid sedih. Tanpa disadarinya ia menangis di depan istrinya.

“Pak, bapak kenapa? Maafkan ibu pak, ibu nggak bisa berbuat banyak untuk membantu bapak.” Kata Bu Hamid pada suaminya sambil terisak.

Melihat istrinya menangis Pak Hamid tak tega, ia mengusap air matanya, lalu merangkul istrinya yang sedang larut dalam kesedihan.

“Bu, sudahlah…, ibu tidak perlu menyalahkan diri sendiri, bapak sangat bersyukur dianugerahi istri sebaik ibu, yang selalu setia dalam setiap keadaan. Sambil bapak usahakan uangnya, tolong ibu besok datang ke sekolah ya…, minta pengertian dari mereka.”

“Ya sudah, sekarang hapus air mata ibu dulu, nanti kalau Alif pulang kan kasihan, melihat orang tuanya sedih. Lagipula nanti cantiknya jadi tertutup oleh air mata lho…, senyum ya…,” kata Pak Hamid menghibur istrinya.

Istrinya mengangguk. Sesaat kemudian berkata pada suaminya,

“Duh…, kok kayak di sinetron ya pak…, pakai acara tangis-tangisan sambil berangkulan begini.” Kata istrinya mencoba membalas canda suaminya. Kesedihan sesaat telah hilang.

“Insya Allah besok ibu ke sekolahnya Alif pak.” Tambah Bu Hamid.

Pak Hamid tersenyum, dipandanginya wajah istrinya. “Iiih…, si ibu teh geulis pisan nya…” Katanya sambil menubit pipi istrinya.

Eleuh…, si bapak teh genit euy…” Kata istinya manja. Keduanya tertawa, melupakan permasalahan hidup yang menimpa.

###

Paginya, setelah selesai berjualan kue, ibu pergi ke sekolah Alif untuk menghadap kepala yayasan. Jantungnya berdebar kencang ketika sampai di depan pintu ruang kepala yayasan, ia memikirkan kata-kata apa yang harus diucapkan kepadanya nanti agar ia bisa memberi toleransi kepadanya.

“Tuk…, tuk…,” diketuknya pintu itu. Jantungnya semakin tak dapat dikontrol, seluruh badannya terasa lemas.

“Ya…, masuk.” Kata kepala yayasan dari dalam ruangan.

Dengan wajah tertunduk Bu Hamid membuka pintu. Lalu masuk dan mendekati meja kepala yayasan.

“Silakan duduk bu…,” Kata kepala yayasan padanya.

“Ada yang bisa saya bantu bu?” Tanya kepala yayasan setelah Bu Hamid duduk.

“Maaf sebelumnya pak, saya orang tua Alif, maksud kedatangan saya ke sini untuk meminta tenggang waktu pembayaran SPP Alif pak, saat ini suami saya sedang berusaha mencari uang untuk membayarnya.” Jawab Bu Hamid.

“Ibu…, 4 bulan bukanlah waktu yang singkat untuk kami menunggu. Kami sudah cukup bersabar dengan tidak men-skors Alif.” Katanya dengan suara lantang.

“Seharusnya ibu mengerti, bukankah suami ibu juga seorang guru. Dari mana kami dapat uang untuk membayarkan gaji guru jika semua anak didik tidak melunasi SPP tepat waktu. Memang kami akui Alif anak yang cerdas, terbukti dari nilai-nilai yang didapat selalu baik. Tapi perlu ibu ingat, kita ini hidup di Indonesia bu! Anggaran untuk pendidikan itu masih minim. Jadi tidak hanya kecerdasan yang dibutuhkan, tapi uang juga bu. Kecuali jika ibu menyekolahkan anak ibu di Jepang sana, baru ibu boleh bernafas lega karena biaya pendidikan sekolah dasar sampai menengah negeri di sana gratis! Atau di Jerman yang hingga perguruan tinggi disediakan beasiswa!” Tambahnya dengan nada tinggi, ia berbicara dengan Bu Hamid seolah sedang memarahi anak kecil.

“Baik pak, saya akan usahakan pak. Kalau begitu saya permisi dulu pak.” Kata Bu Hamid, hatinya sakit diperlakukan seperti itu. Tetapi ia tak mampu berbuat banyak, ia hanyalah satu dari sekian banyak keluarga yang kurang beruntung, yang tidak dapat memberikan pendidikan yang layak bagi anaknya.

Sepanjang perjalanan, ia tak henti-hentinya beristighfar. Air matanya menetes. Ia tak tahu harus berbuat apa untuk membantu suaminya. Ia hanya berharap Allah swt. akan memberikan jalan keluar untuk keluarganya.


1 Maaf Bu Saidah mengganggu pagi-pagi. Pak Ali ada bu?
2 Ada, tunggu sebentar ya pak saya panggilkan. Pak Ali sedang baca Qur’an di kamar.
3 Baik Bu. Terima kasih.
4 Wah, ada apa nih pak? Kok tumben pagi-pagi ke rumah?
5 Begini pak, saya mau mengembalikan kunci rumah sekalian berpamitan. Hari ini saya akan berangkat ke Depok. Saya akan bekerja dan tinggal di sana pak.
6 Mendadak sekali pak?
7 Iya bu, saya baru dapat info kemarin sore. Dan besok saya harus sudah mulai mengajar di sana.
8 Baik pak, mungkin itu saja. Kami sekeluarga pamit. Mohon maaf bila selama ini banyak berbuat kesalahan. Mohon doa dari bapak dan ibu.
9 Sama-sama pak, hati-hati di jalan ya… semoga berkah dan sukses.

No comments: