Malam itu teman lamaku mengirimiku sebuah pesan singkat,
“Akh, camping yuk…”
Bagiku itu adalah tawaran yang sangat menyenangkan, memang sudah lama aku menunggu waktu untuk bisa naik gunung lagi setelah tahun lalu aku gagal sampai puncak gunung Gede, sebabnya adalah karena saat itu cuaca sedang buruk. Hujan tak henti-hentinya mengguyur berbagai daerah di hampir setiap provinsi di Indonesia. Juga ada satu hal lagi, salah seorang dari kami mengalami cedera lutut yang cukup serius, akhirnya kami memutuskan untuk tidak melanjutkan pendakian demi keselamatan bersama.
Setelah berpikir beberapa saat, aku membalas sms itu, kutanyakan kapan akan berangkat. Sesaat kemudian temanku membalas sms itu, isinya sungguh di luar dugaanku,
“Kita berangkat malam ini,
semua perlengkapan sudah tersedia,
antum tinggal bawa perlengkapan
pribadi saja. Gimana?
Ana tunggu di rumah ok!”
Akhirnya aku urung berangkat mengingat kondisiku yang belum pulih benar. Seminggu dirawat di RS karena DBD membuat tubuhku lemas, bahkan kepalaku masih pusing. Dan aku yakin orang tuaku pun pasti tak akan memberi izin.
Seminggu setelahnya aku menceritakan tawaran temanku itu pada sahabatku dan dua orang adik kelasku, setelah berbincang beberapa saat akhirnya kami menentukan tanggal keberangkatan, waktunya hanya sekitar 20 hari.
Sebelum berpisah aku menyakinkan kembali bahwa hal ini serius akan dijalani, karena aku tak mau membuang waktu untuk memikirkan sesuatu yang belum pasti. Setelah mereka menyatakan kesungguhannya, aku menyebarkan info itu kepada teman-teman yang lain, mengajak mereka bergabung dalam acara tersebut.
Hari H tiba, terdaftar 11 orang peserta termasuk aku. Dengan perlengkapan seadanya kami berangkat menuju Cibodas, pos masuk ke gunung Gede. Modal nekat. Ya, begitulah aku, jika menginginkan sesuatu akan diusahakan terus hingga terealisasi, kèkèh istilahnya. Bagi yang belum kenal, mungkin mereka akan menganggapku orang yang keras kepala, tapi sebenarnya sih tidak. Karena bagiku antara keras kepala dan kèkèh ada perbedaan. Keras kepala itu tabiat yang selalu ingin menang sendiri dan tak mau menerima masukan dari orang lain, sedang kèkèh masih bisa menerima masukan asalkan ada alasan yang logis. Itu menurut persepsiku sih, nda tahu kalau dari orang lain. Yang jelas tak ada waktu lagi untuk berdebat, “Gede…, kami datang!”
Hari pertama mendaki, badanku rasanya tak sekuat dulu. Maklum, sejak sakit waktu itu aku tak pernah jalan jauh lagi, jadi perlu waktu bagi tubuhku untuk beradaptasi.
Setelah mendaki lebih kurang 7 jam, kami tiba di puncak gunung Gede. Tak pernah terbayang sebelumnya seperti apa puncaknya, ternyata berupa jalan setapak yang tak terlalu luas, samping kiri jurang berupa kawah bekas letusan, dan sebelah kanannya pun sama curamnya, tetapi bukan kawah seperti sebelah kiri.
Aku adalah seorang pendaki yang paling aneh, alasannya karena aku pobia ketinggian. Di sana tak henti-hentinya temanku meledekku,
“Masa’ mau naik gunung takut ketinggian, ah…, payah ente.”
Tapi aku meyakinkan mereka bahwa ini adalah bagian dari terapi yang harus aku jalani, jika aku terus seperti itu kapan akan berubah. Ah…, badanku lemas rasanya, aku takut. Tapi aku memaksakan diri, tak mungkin kan kalau aku turun lagi. Akhirnya kupaksakan untuk melewati jalan setapak di puncak Gede, subhanallah…, di antara rasa takut dan takjub aku teringat kepada Allah yang telah menciptakan semua ini, aku hanyalah makhluk dhaif yang tak mampu berbuat apa-apa tanpa bantuannya.
Setengah perjalanan di puncak Gede telah kulalui, perlahan rasa takut itu menghilang. Tampaknya aku harus lebih sering berinteraksi dengan ketinggian agar dapat terbebas dari rasa takut akan ketinggian. Huh…, puas rasanya, perjuanganku tak sia-sia.
Perjalanan berlanjut, kami turun ke alun-alun. Pemandangan di sana berupa padang rumput yang luas. Diperkirakan suhu di sana di bawah 5 derajat celcius.
Setelah memasang tenda, kami memasak makanan, cacing di perut sudah merintih meminta jatah.
Setelah shalat ‘isya dan makan kami berencana untuk berkumpul dekat api unggun yang kami buat, tapi rencana itu urung dilaksanakan karena kami kelelahan.
Api unggun telah padam, kami semua telah masuk di dalam tenda masing-masing. Masuk tenda seperti masuk ke dalam lemari es, uh…, dingin sekali rasanya. Persendian terasa beku. Menunggu pagi tiba menjadi aktifitas kami malam itu, ingin segera bertemu sang mentari yang membagikan kehangatan.
Allah…, ajari kami cara bersyukur dan bersabar…
Jadikan kami hamba yang pandai bersyukur atas nikmat,
dan bersabar atas ujian…
Sebuah perjalanan yang mengesankan…
No comments:
Post a Comment