Pagi itu Irfan datang ke sekolah lebih awal, pasalnya ia harus menyelesaikan PR-nya yang lupa ia kerjakan. Rencananya ia akan meminta bantuan Nisa. Ia adalah siswi yang rajin dan disiplin, biasanya ia datang ke sekolah 1 jam lebih awal dari jam masuk sekolah, menyapu kelas atau membaca buku yang ada karena di rumahnya suasana tidak kondusif.
“Eh, kok tumben mas sudah datang?” Tanya Nisa pada Irfan. Nisa adalah satu-satunya murid yang memanggil Irfan dengan sebutan ‘mas’, sebabnya adalah karena mereka sama-sama dari jawa.
Irfan menjawab pertanyaan itu dengan senyum. Ia ragu untuk meminta Nisa membantunya mengerjakan PR. Setelah 15 menit berlalu akhirnya Irfan menyerah, ia membuang rasa malu jauh-jauh, dipanggilnya Nisa yang sedang membaca buku di bangku depan.
“Nis, tolongin donk…”
“Tolong apa?” Jawab Nisa.
“Boleh lihat PR-nya? Kemarin saya lupa ngerjain.”
Nisa mengambil tas dari kolong meja, lalu mengambil buku Fisika yang bersampul cokelat. Ia memberikannya pada Irfan tanpa berkata apa-apa. Lalu kembali ke bangkunya untuk melanjutkan bacaannya.
Sepuluh menit sebelum bel berbunyi, Irfan selesai mem-paste pekerjaan rumah Nisa ke bukunya.
“Nih…, makasih ya.” Kata Irfan ketika mengembalikan buku itu. Irfan memang bukan tipe orang yang bisa berlembut ria, sedang marah atau tidak, sama saja bicaranya.
###
3 bulan kemudian, Irfan menemukan lingkungan baru. Ia mulai mendalami Islam lewat ROHIS dan dengan mengikuti pengajian di tempat temannya. Ia merasa bersyukur bisa dipertemukan dengan tarbiyah. Dari majelis itu pulalah ia mengetahui adab berhubungan dengan lawan jenis, siapa yang halal dan haram untuk disentuh misalnya.
Layaknya seorang anak yang baru memperoleh mainan baru, ia ingin ‘memamerkan’ apa yang diketahuinya itu kepada teman-teman di kelasnya, termasuk Nisa. Ternyata setelah mencobanya, ia merasa bahwa hal itu tak semudah yang dibayangkan. Banyak teman kelasnya yang menganggapnya sok suci dan lain-lain.
Irfan menyerah, tak lagi menyampaikan apa yang didapatnya dari pengajian kepada teman-teman. Hal ini ternyata membuat Nisa merasa rindu dengan pesan-pesan ilahi yang disampaikan Irfan sebelumnya. Setelah berpikir cukup lama akhirnya Nisa meminta bantuan Irfan untuk mencarikannya guru ngaji yang bisa membimbingnya memperbaiki diri.
Irfan berjanji akan memberi kabar selambat-lambatnya 2 pekan setelah hari itu. Untuk memenuhi janji itu Irfan bekerja cukup keras untuk mendapatkan guru ngaji yang cocok untuk Nisa, dihubunginya teman-teman pengajiannya.
Sepekan berlalu. Usahanya membuahkan hasil, salah seorang temannya memberi kabar bahwa ada tempat yang bisa menerima Nisa bergabung di sana.
###
Hari terus berlalu. Setelah Nisa mengaji hubungannya dengan Irfan semakin dekat, sebabnya adalah karena Nisa biasa mendiskusikan apa yang didapatnya di tempat mengaji kepada mas-nya, Irfan.
Lambat laun tumbuh dalam hati Nisa benih-benih rasa sayang. Ia merasa Irfan adalah sosok yang dapat melindunginya dan mampu memberikan perhatian lebih. Virus itu muncul karena seringnya mengadakan diskusi ringan dengan Irfan. Benarlah pepatah jawa yang mengatakan “sering bertemu menyebabkan tumbuhnya rasa cinta.”
Rupanya hal itu juga terjadi pada Irfan. Keduanya tak mampu membohongi perasaan masing-masing, keduanya saling mengagumi. Tak ada orang yang tahu, hanya Allah dan malaikat saja yang tahu apa yang dirasakan keduanya.
Suatu siang, keduanya membuka perasaan masing-masing. Lalu melambung pada pembicaraan seputar pernikahan di hari nanti. Entah salah atau tidak, yang jelas keduanya telah membuat komitmen untuk saling menjaga hati hingga tiba masa untuk melegalkan cinta melalui akad nikah.
###
Tak terasa 3 tahun berlalu. Seragam abu-abu kini tak lagi menjadi pakaian sehari-hari, mereka berdua telah lulus SMA. Masing-masing mengejar cita-cita yang telah dibangun dalam khayalannya.
Nisa memilih untuk bekerja karena ia masih memiliki adik yang harus dibiayai sekolahnya. Irfan melanjutkan pendidikan strata 1 di universitas negeri. Awalnya ia hanya mencoba-coba ikut tes SPMB, ternyata Allah menggariskan jalan lain dari coba-cobanya itu, ia lulus.
Hari-hari di kampus selalu dipenuhi oleh rutinitas yang tak kenal waktu. Irfan tak lagi sempat merasakan hangatnya mentari pagi dan teriknya siang. Harinya dihabiskan di kampus, berangkat pagi, pulang malam hari.
###
Suatu hari Irfan mengunjungi Nisa di kosannya. Ia tak sendiri, ditemani oleh seorang mahasiswi teman kampusnya.
“Nis…, kenalkan ini Mia, temanku di kampus.” Kata Irfan sambil mengarahkan tangannya pada gadis yang tertunduk. Wajahnya tersamar di antara balutan jilbab abu-abu yang dikenakannya.
Nisa tersenyum, tetapi dalam hatinya ia bertanya-tanya, “Mengapa Irfan mengunjunginya bersama seorang teman kampus yang bukan mahram-nya.”
“Maksud kedatanganku ke sini untuk menjelaskan apa yang sudah terjadi antara kami Nis.” Kata Irfan sambil menatap wajah Nisa yang mulai memerah. Perasaannya tak enak. Ia merasa akan mendapat kabar yang tidak membahagiakan hari itu.
“Aku sebenarnya bingun harus mulai dari mana, tapi…, aku memang harus membicarakan masalah ini padamu. Beberapa waktu lalu Mia meminta kesediaanku untuk menikah dengannya. Tentu kamu tahu, aku paling tidak sanggup membuat wanita menangis, aku tak tahu harus berbuat apa.” Kata Irfan dengan suara bergetar, hatinya kalut. Tak tahu harus bagaimana.
Nisa terdiam, butiran bening meluncur satu per satu dari kelopak matanya, membasahi kerudung putih yang dikenakannya. Ia tak mampu menahan sedih, semua yang direncanakannya ketika sekolah hancur. Mimpi manisnya berubah menjadi kekelaman tak berujung. Hatinya benar-benar terluka.
“Mas sendiri bagaimana? Aku tidak bisa mengambil keputusan, jika memang Mia yang terbaik untuk mas Irfan, silakan saja, aku rela mas…” Kata Nisa setelah terdiam cukup lama.
“Tangisanku ini tak perlu mas hiraukan. Aku adalah seorang wanita yang lebih dominan perasaannya daripada logikanya, jadi wajar bila aku menangis.” Tambahnya.
Suasana kini menjadi sepi, tak ada yang bersuara lagi di sana. Tak ingin melukai perasaan masing-masing, walau sebenarnya telah ada yang terlukai perasaannya.
###
Sejak kejadian itu hubungan mereka sedikit renggang. Hanya sesekali berkirim taushiyah untuk menyemangati satu dengan lainnya.
Hingga suatu hari datang sms yang tak pernah terduga,
Mhn doa ya akh,
Insya Allah bln depan ana
walimah…
semoga ini adl yg trbaik
utk kita semua.
Irfan kaget mendapat sms itu, ia tak menyangka kalau Nisa lebih dahulu bertemu jodoh sesungguhnya. Cinta pertamanya akan hilang bersama ijab dan qabul kelak, Irfan teringat pada surat yang diberikan Fahri pada Nurul yang selalu menyesali cinta pertamanya yang tak mampu diraihnya, sebuah kisah cinta pada novel yang berjudul Ayat-ayat Cinta yang belum lama dibacanya.
Cinta sejati dua insan berbeda jenis adalah
cinta yang terjalin setelah akad nikah.
Yaitu cinta kita pada pasangan hidup kita yang sah.
Cinta sebelum menikah adalah cinta semu
yang tidak perlu disakralkan dan diagung-agungkan.
Air matanya menetes, tanda bahagia karena Nisa kini telah bertemu jodohnya. Ia berharap tak ada lagi tangis yang membuat wajah Nisa tak indah karena bekas-bekas air mata. Beberapa saat kemudian ia menerima sms lagi dari Nisa,
Menikah dgn org yg kita cintai
hanyalah kemungkinan.
Mencintai org yang kita
nikahi adlh kewajiban…
hal itulah yg kini hrs kutanamkn
dlm diri ini…
trmksh…
No comments:
Post a Comment