Siang ini aku tak dapat membaca Qur’an seperti hari-hari sebelumnya. Biasanya, seusai shalat zhuhur aku membacanya sebelum kembali ke tempat kerja.
Seperti biasa aku meletakkan Qur’anku di tembok atas kran untuk wudhu, lalu ke toilet. Namun siang ini berbeda dengan siang sebelumnya, biasanya kudapati Qur’anku masih di tempatnya. Tetapi, ketika aku kembali dari toilet siang ini, aku tak lagi mendapatinya di tempatnya.
“Ah, mungkin ada yang membawanya ke dalam masjid karena seseorang menganggapku lupa membawanya.” Pikirku. Sebelumnya juga pernah terjadi beberapa kali kejadian serupa, Qur’anku raib dari tempatnya. Tapi akhirnya aku mendapatinya ada pada petugas masjid atau diletakkan di atas kotak amal.
Selesai berwudhu, aku menunaikan shalat zhuhur. Dalam shalat pikiranku masih terus dipenuhi pertanyaan di mana Qur’anku sekarang? Ah, begitulah setan, selalu mencari kesempatan pada setiap keadaan untuk menjerumuskan anak cucu Adam.
Setelah salam, aku mengamati orang-orang di sekitarku. Berharap akan ada yang mengantarkan Qur’an itu pada petugas masjid. Tapi harapanku tak terwujud. Satu per satu mereka keluar masjid, hingga akhirnya tinggallah beberapa orang tua yang biasa kujumpai di masjid itu.
Setelah shalat sunnah, aku bergegas menuju ruang penitipan sepatu. Waktu itu Qur’anku dititipkan di sana oleh seseorang, semoga hari ini pun demikian.
“Maaf pak, ada yang menitipkan Qur’an tidak?” Tanyaku pada penjaganya.
“Apa? Qur’an? Nggak ada tuh. Memang ditaruh di mana?” Jawabnya.
“Di tempat wudhu.”
“Wah, kenapa ditaruh di situ? Itu mah sudah hilang.”
Aku lemas. Qur’an kesayanganku dibawa orang, entah siapa. Qur’an itu adalah Qur’an yang penuh dengan kenangan. Banyak sejarah yang telah kuukir bersamanya dalam dunia tarbiyah. Tidak rela rasanya jika harus kehilangannya yang berarti juga kehilangan kenangan manis bersamanya.
Qur’an itu aku beli ketika masih duduk di bangku kelas 2 SMP. Ketika itu aku membelinya karena di tempatku menimba ilmu agama, ustadznya memakai Qur’an seperti itu yang biasa disebut Qur’an pojok. Sebelum aku membeli Qur’an itu, aku memakai Qur’an versi Depag. Jadi, ketika aku membaca Qur’an di tempat mengaji, aku tak tahu sampai ayat berapa aku harus berhenti karena banyaknya ayat pada halamannya tidak sama. Aku harus menunggu ustadz-ku mengatakan khalas, baru berhenti.
“Bu, boleh pinjam uang nggak?” Kataku pada ibuku.
“Buat apa sih?” Jawab ibuku dengan sorot mata yang penuh tanda tanya.
“Mau beli Qur’an.”
“Lho… Memang yang sudah ada kenapa?” Tanya ibuku keheranan.
“Beda, soalnya di tempat ngaji pakai Qur’an yang berhenti bacanya pakai standar halaman Qur’an teks Utsmani. Kata kakak harganya 20 ribu, tapi bisa diskon jadi 16 ribu karena kakak punya kartu anggota di Mafaza.” Jelasku pada ibuku.
Akhirnya ibuku meminjamkan uang padaku untuk membeli Qur’an itu. Dan aku berjanji akan menggantinya dengan cara mencicil. Aku senang sekali, aku meminta bantuan kakakku untuk membelinya.
Wah, aku tak beruntung. Qur’an yang dibeli kakakku halamannya tak lengkap, hilang lebih dari 10 halaman. Akhirnya kakakku menukarnya dengan Qur’an lain. Kuperiksa satu per satu halamannya, yap! lengkap kataku.
Akhirnya Qur’an itu terus menemaniku hingga kemarin malam, mengarungi pahit manis perjuangan di jalan-Nya.
Oya, untuk cicilan yang kujanjikan pada ibuku, saat itu aku tak mampu membayarnya. Lalu aku meminta ibuku mengikhlaskannya….
Hingga kini aku masih berharap akan kembalinya Qur’an itu padaku. Maafkan aku yang tak mampu merelakannya… dan kalaupun tak kembali, jangan sia-siakan keberadaannya… jagalah ia dan penuhi haknya… selamat untuk yang membawanya… semoga berkah dan bertambah keshalihannya…
No comments:
Post a Comment