“Eh, lebaran kemaren ane pulang kampung lho, ke Purwokerto.” Kata salah seorang peserta arisan.
“Sama, aku juga pulang.” Yang lain menyambung pembicaraan.
“Kalau mba ke mana?” Tanya seorang dari mereka pada orang yang tak berkomentar sedari tadi. Mungkin alasannya diam adalah karena ia tak punya pengalaman yang dapat ia ceritakan pada teman-teman arisannya. Ya, dari semua peserta arisan, hanya dia seorang yang berasal dari Depok, selebihnya dari luar kota. Merantau untuk menyambung hidup, mencari ilmu serta pengalaman.
“Ane nggak pulang kampung. Ane asli Depok.” Jawabnya dengan wajah tertunduk.
“Oh, berarti mba orang Betawi dong!” Wong Purwokerto angkat bicara.
“Maaf, ane paling nggak mo disebut orang Betawi!” Jawabnya tegas.
“Iya deh mba, afwan. Eh tapi mba, ane tuh punya kakak ipar yang dari Betawi lho, ketika mau nikah dia minta ini itu ke kakak. Emas harus sekian gram, tempat tidur, dll.” Jelas orang Purwokerto pada orang asli Depok.
Apa yang ada dipikiran anda ketika mendengar kata Betawi disebut? Kampungan, materialistis, berpendidikan rendah, malas, atau segudang image buruk lainnya?! Yah, begitulah image yang ada di masyarakat tentang Betawi.
Sungguh tragis memang, suku yang menempati kota metropolitan sekaliber DKI Jakarta yang tak lain adalah ibu kota negara Indonesia, harus menyandang image buruk sedemikian sadisnya. Berjuta perantau dari daerah setiap tahun, bulan, minggu, bahkan hari, tergiur untuk berkunjung ke Ibu Kota Jakarta tempat orang Betawi tinggal. Tapi hal itu tak mampu merubah keadaan menjadi simbiosis mutualisme, satu dengan lainnya saling menguntungkan. Pendatang dari daerah yang mengadu nasib di Jakarta pasti akan bersinggungan dengan mereka. Ketika berjualan, penduduk aslilah yang menyemarakkan jual belinya.
Secara geografis, aku tak terlalu tahu daerah mana saja yang dapat dikatakan bersuku Betawi. Depok misalnya, daerah pinggiran ibu kota ini dianggap bagian dari wilayah Betawi. Orang yang terlahir di Depok akan berstatus sebagai seorang anak Betawi. Padahal berdasarkan peta wilayah, Depok masuk ke dalam provinsi Jawa Barat yang bersuku Sunda.
Mengingat image yang dilekatkan pada Betawi sedemikian parah, aku sebagai orang yang ditakdirkan oleh Allah terlahir di Depok selalu memperjuangkan image-ku. Aku memang terlahir di Depok, tapi jangan sebut aku orang Betawi yang bergelar seperti di atas. Aku lebih suka dianggap tak bersuku.
Untungnya, aku tak murni 100% Depok, kakekku berasal dari Bojong Gede. Walau tak terlalu jauh dari Depok, tapi setidaknya ada darah ‘Sunda pinggiran’ yang mengalir di tubuhku. Nenekku pun bisa berbahasa Sunda, walau tak terlalu mahir. Begitu juga dengan ibuku.
Mungkin Depok adalah kota wasathan, pertengahan. Sama halnya dengan kaum muslimin yang dalam al-Qur’an oleh Allah disebut sebagai ummatan wasathan, umat pertengahan. Jadi, orang Depok adalah orang yang tak bersuku, tapi bergelar suku Islam. Ya, itulah yang aku inginkan, dinilai sebagai seorang muslim seutuhnya.
Terkadang aku berpikir, mengapa orang yang memberikan penilaian seperti di atas menyama-ratakan semua orang Betawi, padahal ada di antara mereka yang memiliki semangat juang yang tak kalah dengan kaum pendatang.
As you sow, so will you reap! Begitu pepatah Inggris mengatakan (aku membacanya pada novel Ayat-ayat Cinta karya Habiburrahman El-Siraziy). Seperti apa yang kita tanam, maka itulah yang akan kita petik. Ketika image buruk terus digaungkan, maka imbasnya akan mengenai generasi penerus dari suku itu. Mereka akan kehilangan semangat untuk bangkit karena seperti apa pun mereka berusaha, mereka tetaplah orang Betawi, suku yang mendapat julukan seperti di atas. Jika sudah seperti ini, siapa yang harus disalahkan?
Sangat tidak adil jika kita men-general-kan image itu pada semua orang yang bersuku Betawi. Karena tidak semua dari mereka berprinsip demikian. Bukankah Allah sendiri menciptakan sidik jari berbeda satu dengan lainnya, padahal pola garisnya mirip. Anak yang kembar identik pun tak akan memiliki karakter sama, tetap akan ada perbedaan antara keduanya. Lantas mengapa kita mengunci mati harga diri mereka dengan terus menggaungkan tuduhan itu. Aku merasakan sendiri perlakuan itu karena aku terlahir di Depok.
Bukankah dalam Islam itu ada tahapan yang harus dijalani untuk memberikan penilaian pada orang lain? Yang paling sederhana adalah kenal nama. Kenal nama belum tentu tahu karakter. Tahu karakter belum tentu tahu kebiasaan. Begitu seterusnya.
Valentino Dinsi adalah seorang trainer luar biasa, selain itu beliau juga seorang pengusaha, pendidikannya pun terbilang tinggi. Ketika mengisi sebuah acara, ia menjelaskan bahwa ayahnya seorang Betawi tulen, lalu apa kita masih menutup mata terhadap orang yang seperti ini? Dan terus saja terpesona pada sosok yang mungkin berkarakter seperti di atas?
Kutulis kisah ini bukan karena aku benci Betawi. Aku hanya ingin menuntut apa yang sejatinya kudapatkan sebagai seorang muslim. Bilal bin Rabbah ra. yang mantan seorang budak ketika ber-Islam mendapatkan apresiasi luar biasa, ia menjadi mu’adzin Rasulullah saw.
Seandainya aku bisa memilih tempat kelahiranku, maka aku akan meminta kepada Allah tempat kelahiran pilihanku. Antara lain, aku ingin terlahir di Jepang agar aku memiliki image disiplin yang tinggi, etos kerja yang baik, serta minat membaca yang luar biasa. Kemudian aku ingin lahir di Palestina, agar aku bisa memiliki cita-cita mulia, hidup dan mati hanya untuk Allah dan selalu berkobar semangat berjihad dalam dada ini. Lalu aku ingin terlahir di Arab, tanah kelahiran para nabi dan rasul. Tapi sayangnya itu tak dapat kulakukan, aku hanyalah seorang makhluk lemah yang tak pernah luput dari salah dan dosa, yang sering khilaf dalam menjalani kewajibannya.
Tokoh Si Doel Anak Sekolah adalah tokoh yang diciptakan untuk mengangkat citra Betawi yang telah rusak di mata masyarakat kebanyakan.
Selain itu, yang tak kalah memprihatinkan adalah dibawanya image itu pada saat seseorang menuju mahligai rumah tangga. Saudari perempuan se-Islam yang berasal dari Betawi tak punya harapan besar untuk memperoleh yang terbaik. Masalahnya satu, suku apa dia? Kata orang tua calon mempelai pria pada anaknya. Prinsipnya, suku apa saja yes, Betawi no!!
Imam Mubarak (Abdullah bin Mubarrak) adalah seorang ulama kenamaan. Ayahnya, Mubarak, tak lain adalah mantan seorang budak. Setelah dibebaskan dari status budak, ia bekerja pada seorang kaya yang memiliki kebun delima. Ia bekerja sebagai penjaga kebun. Amanahnya saat itu adalah menjaga kebun itu dan merawat pohon-pohon delimanya. Suatu ketika majikannya memintanya mengambilkan buah delima yang manis. Ternyata yang diberikannya pada majikannya masam rasanya, kemudian majikannya menyuruhnya mengambil buah dari pohon lain. Hingga tiga kali, rasa buah yang diambilnya tetap masam. Itu karena selama ini ia tak pernah mencicipi buah delima tersebut karena akad awalnya hanyalah menjaga kebun dan merawat buahnya, bukan untuk memakannya. Kejadian itu membuat majikannya terpesona.
Suatu ketika majikannya bertanya, “Ya Mubarak, sesungguhnya aku hendak menikahkan anak gadisku, maka adakah engkau memiliki saran calon seperti apa yang pantas untuk anakku?”
Lalu Mubarak menjawab, “Wahai tuanku, sesungguhnya Orang Yahudi menikahkan anak mereka karena faktor kecantikan dan ketampanan, Orang Nasrani menikahkan anaknya didasari pada harta kekayaan, dan Orang Arab menikahkan anak mereka karena nasab (garis keturunan). Sedang orang beriman, menikahkan anak mereka dengan pertimbangan faktor keimanan.”
Mendengar jawaban itu tuannya berkomentar, “Wahai Mubarak, sungguh, aku tak mendapati seorang yang keimanannya baik seperti engkau. Maka aku akan menikahkan puteriku pada engkau.”
Subhanallah… sejatinya seorang mu’min tak menilai mu’min lainnya dengan pertanyaan dari mana asal engkau? Yang lebih patut untuk ditanyakan adalah sejauh mana pengenalan engkau pada Allah, yang merupakan indikator baik buruknya keimanan…
Wallahu a’lam bishshawab…
No comments:
Post a Comment