Sore itu seperti biasa aku dan teman kerjaku bersiap untuk pulang ke rumah, pukul 17. Beberapa menit sebelumnya sepupuku yang hendak melaksanakan akad nikad di esok hari mengirimiku sms, katanya,
Ful, nanti kalau sudah sampai rumah
tolong bantu dekor kamar ya…
syukran ya.
Kukirim balasan padanya,
Insya Allah ya…
Aku adalah salah seorang panitia dalam acara resepsi pernikahannya besok. Kebetulan panitia laki-laki dari pihak wanita hanya aku dan sahabat dekatku, Winarto.
Kusampaikan isi pesan itu pada teman kerjaku karena aku dibonceng olehnya. Alasannya adalah agar ia tahu bahwa aku memiliki keperluan sepulang dari tempat bekerja dan tidak bisa mampir ke tempat lain agar aku bisa sampai ke rumah secepat mungkin.
Setelah meminta izin pulang, kami bersiap untuk berangkat menuju rumah. Udara sore itu terasa begitu dingin, jaket yang kukenakan tak mampu menghalau rasa dingin merasuk ke tubuhku.
Setelah melewati pintu perlintasan KRL Pondok Cina, kami mulai menyusuri jalan beraspal di kawasan Universitas Indonesia. Di pinggir jalan ada polisi yang sedang mengatur mobil yang hendak keluar dari parkir Balairung, tampaknya sedang ada acara wisuda.
Temanku memintaku mengenakan helm yang biasanya selalu kupegang selama masih di area kampus, dan baru kupakai ketika hendak memasuki jalan raya di Beji. Alasannya adalah karena ada pak polisi tadi. Kuturuti sarannya.
Setelah melewati F-MIPA, jalan mulai menikung dan menurun. Temanku melaju cukup kencang, 60 km/ jam. Udara dingin terus menyertai kami, angin yang berhembus semakin kencang.
“Sreeet… bruk…” kami berdua terseret di atas jalan aspal dekat danau tak jauh dari F-MIPA, mungkin sekitas 3 meter. Tiba-tiba banyak orang yang mengerumuni kami, malihat keadaan kami. Di antaranya adalah petugas keamanan kampus. Temanku terjepit di bawah motor, aku bangkit dan mendirikan motor yang jatuh menimpa temanku itu agar ia dapat berdiri. Aku belum sadar apa yang terjadi pada diriku.
Kulihat darah segar mengalir di telapak tanganku, aku lemas. Aku paling tak tahan melihat darah. Aku menunduk. Astaghfirullah, aku semakin lemas. Celanaku juga telah basah oleh darah, kusingkap lututku. Ah, mau pingsan rasanya. Aku mencoba bertahan, lututku seolah berlubang. Kulit dan dagingnya baru saja diparut di aspal yang cukup kasar, tapi untungnya tak terlalu lebar.
Kami dibawa oleh petugas keamanan kampus ke UKM untuk diobati. Tapi sayang, di sana sudah tidak ada dokter, sudah pulang karena hari hampir gelap. Hari itu kami sedang shaum tengah bulan, dan akhirnya kami memutuskan untuk berbuka padahal waktu maghrib tak lama lagi.
Setelah membersihkan luka dengan air mineral dan mendapat pengobatan seadanya dari penjaga UKM, kami pulang menuju rumah. Aku hampir pingsan karena darah di tangan masih keluar walau tak sebanyak tadi.
Setelah menempuh perjalanan hampir 30 menit, aku tiba di kawasan dekat rumah. Aku turun dari motor, mengucapkan terima kasih pada teman kerjaku dan memesannya untuk berhati-hati agar bisa sampai ke rumahnya.
Rumah sepupuku telah ramai dan nampak indah dengan dekor khas pernikahan. Aku melewati rumahnya dengan langkah gontai. Di luar rumah pamanku duduk, ia menyapaku. Aku menjawabnya dengan senyum. Tak kuasa berkata-kata. Raut wajahku tampak pucat kala itu dan memancing orang yang melihatnya untuk bertanya padaku apa yang telah terjadi. Setelah menyapaku, ia bertanya padaku,
“Kenapa Ful?”
“Jatuh.” Jawabku sambil terus melangkah ke arah rumah.
Sampai di rumah, aku disambut dengan wajah panik kakak perempuanku. Lalu ia memanggil ibuku dan mengatakan apa yang dilihatnya. Ibuku kaget. Tapi aku tak banyak berkata-kata, lalu meminta bantuan ibuku untuk menyediakan air hangat untuk membersihkan luka.
Calon pengantin yang tak lain adalah sepupuku datang ke rumah, ia menanyakan keadaanku.
Aku menjawab dengan senyum yang dipaksakan, “Maaf ya, tidak bisa membantu mendekor kamar.”
Aku menunaikan shalat maghrib. Ibuku pun kuminta segera shalat karena aku hendak meminta bantuannya untuk mengantarku ke klinik. Tampaknya lututku memerlukan sentuhan medis.
Seusai shalat, aku dan ibuku berangkat ke klinik di pasar lama. Di klinik itu aku ditangani oleh seorang dokter wanita yang mengenakan kerudung hitam. Namanya Poppy.
Setelah diperiksa, ia mengatakan bahwa lukaku harus dijahit karena berada di lutut yang merupakan tempat persambungan sendi-sendi, akan sulit sembuh jika tidak dijahit karena lutul selalu digerakkan ketika beraktifitas.
Aku awalnya menolak, kutanya apa aku akan disuntik? Lalu dokter Poppy meyakinkan bahwa itu tidak sakit dan proses penjahitan luka tidak lama. Sekali lagi aku paling takut dengan jarum suntik.
Setelah berhasil membuatku yakin, mulailah ia mengeksekusi lukaku. Diambilnya gunting, di tarik daging yang telah rusak, digunting lalu dibuang. Setelah itu ia mulai menjahit. Kakiku ia perlakukan bak kain perca. Walau sudah disuntik kebal, setiap kali dokter memasukkan jarum dan menarik benang masih dapat kurasakan dengan jelas. Aku menutup mata dengan tangan untuk menghilangkan ketegangan dan rasa takut. Setelah selesai dokter Poppy tertawa, ia merasa lucu melihat tingkahku tadi.
Keesokan harinya, aku memutuskan untuk tetap menjalankan komitmen yang telah dibuat jauh hari sebelum ini, jadi panitia. Sebenarnya keluarga dan sepupuku memintaku untuk beristirahat dan tidak perlu membantu. Tetapi aku berpikir, selama masih dapat berjalan (walau dengan picang), tak ada alasan bagiku untuk tak membantunya di hari bahagianya.
Persiapan akad nikah telah selesai. Acaranya dilaksanakan di masjid dekat rumah.
Calon mempelai pria datang beserta rombongan. Lalu ia menuju tempat yang telah disediakan. Dari arah belakang datang seorang ibu tua menghampiri, ia menyerahkan padaku rangkaian bunga melati untuk dikalungkan pada calon mempelai pria. Kuterima rangkaian bunga itu lalu mendekat ke calon mempelai pria untuk menyerahkan bunga itu padanya. Ia menerimanya dan memakainya sendiri. Aku mundur ke belakang.
Sesaat kemudian terdengar suara seorang ibu berkomentar pada temannya, “Kok bunganya nggak dikalungkan? Masa’ pengantinnya yang pake sendiri.”
Aku berbisik dalam hati, “Maaf ya bu… tanganku sakit, jadi tidak bisa mengalungkan rangkaian bunga itu pada calon mempelai.”
Aku tersenyum puas…
Kejadian yang terjadi pada 3 Pebruari 2007 silam, hingga kini masih menyisakan trauma padaku. Aku merinding ketika mengingat kejadian itu.
No comments:
Post a Comment