“Krik… kriiikk.. kriiikkk…” HP-nya menjerit di tengah kesunyian waktu shubuh. Seperti biasa, ketika mendapat pesan dari temannya ia akan membacanya dengan suara yang dapat didengar oleh mereka yang berada di dekatnya, tetapi jika isinya hal yang pribadi biasanya ia hanya melafalkan sebagian isi pesan, lalu terdiam. Sesaat kemudian jarinya lincah berlompatan di atas tombol-tombol huruf di HP-nya, mengetik sms balasan.
Pagi itu setelah membaca sms, ia tak membalasnya. Mungkin karena tak ada pulsa atau sebab lainnya. Yang dilakukannya justru melihat isi lemari pakaian. Memilah-milah tumpukan baju, lalu mengambil satu yang menurutnya layak dikenakan. Jika seperti itu biasanya isi pesan berupa instruksi untuk menghadiri suatu acara dari ketua kelompok pengajiannya.
Siang itu, aku berangkat ke Istora Senayan untuk mengunjungi Islami Book Fair. Biasanya banyak buku murah di sana, tetapi isinya tetap berkualitas baik.
Setelah berkeliling hampir 2 jam, temanku mengajakku pulang, sudah lelah katanya. Padahal aku belum membeli buku satupun. Ketika menuju pintu keluar aku melewati stand Benayu al-Islamiy, stand yang banyak dikerumuni oleh kaum akhwat karena sedang ada obral jilbab hingga 70%.
Sesaat pikiranku tertuju ke rumah, teringat pada kakak perempuanku yang hari itu sedang menjumpai tanggal kelahirannya. Aku teringat kata-katanya,
“Jangan lupa ok, kalau sudah gajian beliin hadiah karena sebentar lagi tanggal 3 Maret.”
Aku menjawabnya dengan kata-kata yang sedang nge-trend saat itu, “Maksud loe… loe keren!”
“Ka’, cepetan yuk!” Kata adik kelasku.
Aku tersadar dari lamunan tentang kakak perempuanku. Kukatakan padanya,
“Eh, kita ke situ dulu yuk, mau nggak?” kataku padanya sambil menunjuk ke arah stand Benayu.
“Ana mau beli jilbab untuk kakak, hari ini dia milad.” Kataku padanya.
“Ok. Tapi jangan lama-lama ya ka’.”
Aku mengangguk, lalu kami berjalan mendekati stand. Jarak kini tinggal satu meter antara aku dengan rak yang digunakan untuk memajang aneka jilbab dengan aneka warna dan model. Aku memastikan bahwa adik kelasku masih bersamaku. Aku urung memilih, semua mata tertuju pada kami berdua. Keringat dingin mulai keluar dari kening dan wajah, itu adalah pertanda bahwa aku sedang stress. Ternyata adik kelasku juga mengalami hal yang sama.
Akhirnya kumantapkan hati untuk melihat-lihat jilbab yang dekat denganku. Adik kelasku pun ternyata ikut memilih. Ketika kutanya untuk siapa, dia tersenyum, lalu menjawabnya dengan suara pelan tapi dapat terdengar jelas,
“Untuk teman.”
“Ciee.. teman apa teman nih?” kataku dengan nada meledek.
“Bener temen ka’…” katanya berusaha meyakinkanku.
Sip. Aku sudah menentukan pilihan, adik kelasku belum menemukan jilbab yang pas untuk temannya. Aku memutuskan untuk ke kasir lebih dulu baru nanti menemaninya memilih jilbab lagi.
Di kasir aku ragu dengan pilihanku. Maklum, kakakku bukan tipe orang yang bisa menerima begitu saja apa yang aku berikan, harus disesuaikan dengan pakaian yang dimilikinya.
Aku teringat peristiwa tahun lalu. Aku meminta temanku untuk mengantarku membeli jilbab untuk diberikan pada kakak perempuanku yang sedang milad. Setelah memilih yang kira-kira bagus corak dan warnanya, aku membayarnya ke kasir dan membawa jilbab itu ke rumah dengan harapan kakakku akan senang menerimanya.
Sesampainya di rumah, kuserahkan jilbab yang tak dibungkus dengan kertas kado padanya. Ia berterima kasih padaku, lalu mengomentari jilbab yang baru saja diterimanya,
“Coraknya sih bagus, tapi warnanya gak da yang lain ya? Bener, daripada gak kepakai lebih baik ane terus terang aja. Warnanya gak cocok dengan baju-baju ane.”
Uh.. kecewa rasanya, harapanku ternyata tak terwujud. Aku membeli jilbab itu dengan maksud memberi kejutan padanya, karena tidak lucu jika aku bertanya dulu warna apa yang diingini, nggak surprise gitu. Akhirnya kuputuskan untuk menukarnya dengan warna lain yang bisa diselaraskan dengan pakaiannya. Ia meminta warna cokelat muda waktu itu.
Karena itulah aku bertanya pada petugas kasir ketika hendak membayar, aku tak ingin mengulang kejadian tahun lalu. Kukatakan padanya,
“Mba ini bagus nggak sih?”
Mba itu menjawab, “Bagus kok, memang kenapa?”
“Nggak, cuma minta pendapat saja. Tunggu sebentar ya mba, tadi ada satu lagi yang bikin saya bingung.”
Aku mengambil pilihan yang satu lagi untuk meminta pendapat dari mba kasir. Toh dia juga akhwat pikirku. Akhirnya ia menyarankanku untuk membeli jilbab berwarna pink, kuturuti sarannya.
Setelah semua urusan kami selesai, adik kelasku berkata padaku dengan nada sedikit kesal,
“Gimana sih ka’, ko ane ditinggal sendiri. Malu tahu.”
“Oh, maaf ya… tadi ana tanya ke kasir mana yang lebih bagus.” Jawabku.
“Trus kakak akhirnya beli yang mana?” Tanyanya lagi.
“Yang pink, katanya bagus.” Kataku sambil memperlihatkan jilbab itu padanya.
“Yah kakak gimana sih, ya jelas saja dia pilih yang pink, memang kakak nggak lihat dia pakai jilbab warna apa? Dia saja pakai jilbab pink, jadi dia nyaranin kakak untuk pilih pink karena dia itu pencinta pink ka’.”
“Oh, iya juga ya… ana gak sadar.” Kataku dengan nada sedikit menyesal.
Sesampainya di rumah, aku memberikan jilbab itu padanya. Lagi-lagi dia terlihat sangat bahagia lalu mengucapkan terima kasih padaku. Setelah mengucapkan terima kasih biasanya ia akan berkomentar, aku tak tahu apa yang akan dikatakannya. Jika ia tak suka pada jilbabnya, aku tak akan mau menukarnya pikirku.
“Wah.. tumben loe pinter pilih jilbab, warnanya pink lagi, cocok banget nih sama baju ane yang pink.”
Untung… ini terjadi karena aku minta pendapat sama mba kasir si pencinta warna pink. Jadi, aku nggak perlu tukar lagi deh…
No comments:
Post a Comment