Monday, July 28, 2008

Mamet

Wajah Mamet kini tak lagi sayu, senyum sumringah kini menghiasi wajahnya yang berbentuk oval bak telur ayam. Alasannya satu, ia akan melanjutkan pendidikan menengah pertamanya ke Depok, tinggal bersama paman dan bibinya yang kebetulan belum memiliki anak, padahal sudah 11 tahun menikah.

Tahun lalu pamannya datang ke rumahnya di Sukabumi, menawarinya untuk tinggal bersamanya di Depok. Tawaran itu ditanggapinya dengan sangat antusias sekali. Ia merasa bahwa ini adalah kesempatan untuk mencari pengalaman sekaligus meringankan beban ibu bapaknya yang sudah tak lagi sanggup membiayai sekolahnya. Ia bertekad untuk mendapat nilai ujian akhir setinggi mungkin agar di Depok kelak ia masuk ke sekolah negeri.

“Met, sudah siap belum? Ua sudah tunggu kamu nih.” Kata ibu setengah berteriak.

“Sebentar, Mamet lagi masukin baju-baju ke tas ma’.” Jawab Mamet dengan suara lantang.

Beberapa menit setelahnya, ia keluar dengan membawa tas yang lumayan besar, isinya selain pakaian adalah buku-bukunya yang sudah dikoleksi sejak lama. Mamet mendekat ke tempat ibu, bapak dan ua-nya berbincang. Berat rasanya harus berpisah dengan ibu dan bapaknya, tapi ini semua demi cita-citanya untuk bisa melanjutkan sekolah, untungnya orang tuanya memberi dukungan sepenuhnya.

“Gimana Met, sudah siap berangkat?” Tanya ua padanya.

Mamet menganggukan kepala, lalu mencium tangan ibu dan bapaknya. Butiran bening keluar dari kelopak matanya yang bulat, ibu dan bapaknya pun tak kuasa menahan tangis. Sedih karena hari-hari mereka akan sepi tanpa anak semata wayang mereka.

###

Seminggu telah berlalu. Mamet telah memulai kehidupan barunya di Depok. Siang hari ia menjaga toko pakaian milik pamannya di Pasar Depok Jaya. Minggu depan rencananya pamannya akan mendaftarkannya ke SMP Negeri di Depok, ia tak tahu akan diterima di mana, pamannya berharap Mamet bisa masuk ke SMPN 2 Depok agar tak banyak waktu yang terbuang karena jarak antara SMPN 2 dengan Pasar Depok Jaya tak terlalu jauh.

“Met, ijazah kamu mana? Ua mau urus pendaftaran sekolahmu.” Tanya ua pada Mamet yang sedang sibuk menata baju yang berantakan.

“Oh, iya wa, masih di tas, Mamet lupa keluarin.” Jawabnya sambil menggaruk kepala.

“Eleuh-eleuh, masih muda sudah lupaan. Kumaha atuh?” kata ua bercanda.

Mamet cengar-cengir. Ia jadi malu diledek ua begitu, maklum walau usianya muda tapi tampangnya ‘bermutu’, alias bermuka tua. Di sekolahnya dulu pun ia selalu dianggap sebagai kepala suku, menjadi orang yang dituakan.

###

Dua minggu kemudian, ua datang ke toko sekitar pukul 13 membawa kabar tentang sekolah untuk Mamet. Sambil tersenyum ua berkata padanya,

“Met ada kabar gembira nih, kamu diterima di SMPN 2. Wah untung deh, jadi kamu bisa belajar dengan baik di sana, karena teman-temannya pasti orang-orang yang pandai Met.”

“Kalau gitu Mamet juga pinter dong wa?” Kata Mamet bangga.

“Ya iya Met, kamu bukan cuma pinter tapi juga rajin, jarang lho anak seperti kamu Met, biasanya anak seusia kamu lebih senang berkumpul dengan orang tua walau harus hidup pas-pasan, tapi kamu rela berpisah dengan keluarga demi cita-cita.” Kata ua dengan raut wajah yang tampak sedih.

Mamet berusaha menghibur ua-nya, ia tak ingin melihat orang tua keduanya sedih, ia bilang padanya,

“Yee…, ua gimana sih, Mamet bisa kayak gini kan karena ua. Kalau nggak ada ua juga Mamet sekarang lagi bantu bapak di sawah.”

Ua-nya mengusap kepalanya. Mamet memang sudah dianggap seperti anak sendiri oleh ua-nya, dan itu dibuktikan dengan selalu berusaha memberikan yang terbaik untuk Mamet.

###

Hari ini Mamet menjalani hari pertamanya di SMPN 2. Ia mendapat teman baru, Andre namanya. Setelah saling berkenalan, mereka berbincang seputar keluarga masing-masing. Mamet menjelaskan bahwa ia di Depok tinggal di rumah pamannya, asli dari Sukabumi. Ibu bapaknya petani di desanya.

“Eh, nama kamu kok lucu ya, ada nama panjangnya nggak Met?” Tanya Andre di sela-sela pembicaraan.

“Ya ada-lah, nama panjangku Mamet Arif, temanku di SD dulu juga sering mengejekku karena namaku aneh.” Jawabnya.

“Oya, kamu belum cerita tentang keluraga kamu Ndre.” Kata Mamet penasaran.

“Aku?” Kata Andre sambil mengarahkan jari telunjuknya ke wajahnya.

“Lho…, memang ada yang namanya Andre lagi di sini? Kan aku lagi bicara sama kamu sekarang…” Kata Mamet dengan nada kesal.

“Iya maaf. Tapi aku minta tolong kamu untuk merahasiakannya ya Met.” Kata Andre serius.

Seperti biasa Mamet akan menjawab pertanyaan singkat dengan anggukan kepala tanda setuju. Entah sebenarnya sopan atau tidak cara menjawab seperti itu, tapi yang jelas bagi Mamet itu sudah menjadi kebiasaan yang sulit untuk dihilangkan.

“Ibuku seorang guru di SMAN 3 Depok, sedang ayahku dosen di Universitas Indonesia Met. Aku anak tunggal, ibu bapakku berasal dari Medan, tapi aku lahir di Depok.” Kata Andre dengan wajah tertunduk.

“Wah…, kenapa malu punya orang tua seperti mereka? Universitas Indonesia itu kan yang terkenal lho, pasti bangga ya Ndre?” Kata Mamet polos.

“Justru itu masalahnya Met, aku nggak mau kalau orang itu berteman denganku karena melihat siapa orang tuaku, aku juga nggak ingin orang lain berteman karena hal-hal yang sebenarnya biasa saja. Aku ingin orang lain menilai aku sebagai diriku sendiri, bukan karena status atau kedudukan. Kamu ngerti kan Met?”

Seperti biasa Mamet menggaruk kepalanya sambil cengar-cengir, lalu balik bertanya,

“Kamu sendiri nggak malu main sama aku? Aku kan bukan orang berada, lagi pula aku ini merangkap jadi penjaga toko baju lho Ndre, ntar kamu dikatain lho sama yang lain…”

Kini Andre yang menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal, mengkin ia terinfeksi virus itu dari Mamet yang baru dikenalnya beberapa jam yang lalu. Tampaknya ia merasa tidak sabar menghadapi Mamet yang agak ‘telmi’, telat mikir.

“Duh…, gimana sih Met, kan aku tadi sudah bilang, aku nggak mau orang melihat latar belakangku, jadi itu juga berlaku ketika aku menilai orang lain. Ngerti nggak?”

“Oh iya, aku lupa.” Kata Mamet.

“Huh…, dasar.” Kata Andre. Lalu mereka berdua tertawa.

1 comment:

Anonymous said...

defensive driving restaurants austin driving record south dakota seattle ." />Do you have a dictionary is considered a recipe for scones? texas defensive driving . [url=http://www.mulberryhandbagssale.co.uk]Mulberry Mitzy Bags[/url] Many Insurance brokers offer this policy which is typically underwritten by Lloyds of London.. [url=http://www.goosecoatsale.ca]canada goose online[/url] Zqrmlqich
http://www.pandorajewelryvip.co.uk Tvvjyjatn [url=http://www.officialcanadagooseparkae.com]canada goose[/url] xwmzzvhii