Friday, May 9, 2008

Tafsir Corner

Malam itu berlalu seperti malam-malam pada pekan sebelumnya, sang ustadz memulai kajian ruhiyah pada jalasah tarbawinya dengan salam diiringi senyum. Ditatapinya wajah binaannya yang hadir kala itu.
Beberapa saat setelahnya, ustadz mulai membuka kajian dengan pujian kepada Allah dan shalawat kepada Rasulullah. Lalu masuk pada materi kajian.
“Ikhwah fillah, hari ini ana akan sampaikan sedikit tentang karakter manusia pada surat Al-Baqarah: 1-20. Ayo sama-sama kita buka qur’annya.” Kata beliau pada peserta jalasah tarbawi, tampak beberapa orang mulai salah tingkah karena lupa membawa qur’an terjemah. Seperti biasa, ustadz akan menyindir atau bahkan to the point pada masalah ini.
Mulailah mengalun ayat 1, 2, hingga ayat kelima dari surat kedua, al-Baqarah, yang dibaca oleh ustadz dengan suara yang mengalun lembut.
“Jadi akhi, pada ayat 1-5 ini Allah menjelaskan kepada kita karakter/ ciri orang yang beriman, apa saja tandanya? Coba kita lihat sama-sama, apa kita masuk ke dalamnya atau justru jauh dari tanda-tanda tersebut. Jangan PD dulu antum, mentang-mentang ayatnya tentang orang yang beriman, antum sudah yakin dan berkata: “Wah, ini pasti ayat buat saya nih.” Kata ustadz sambil memperagakan gaya bicara orang yang dimaksud.
Sedang ketika ayat-ayat yang dibahas tentang orang munafik, kita malah merasa bahwa itu bukan untuk kita. Padahal, kita nggak tahu apakah kita bebas dari virus kemunafikan atau justru ia tumbuh subur dalam diri kita.
Tanda yang pertama, beriman kepada kitab Allah. Menjadikan Al-Qur’an sebagai guide, pemandunya dalam mengarungi bahtera kehidupan. Setiap langkah selalu dikaitkan dengan nuansa yang dijelaskan Allah dalam Al-Qur’an. Sekarang kita lihat seberapa pandai kita mampu membaca Al-Qur’an? Jangan mentang-mentang jadi aktifis, atau sekarang era partai, baca Qur’an kagak bisa. Alasannya, karena kebanyakan demo kali ya.. jadi nggak sempat belajar Qur’an. Prioritas untuk belajar Qur’an dikesampingkan, jaket dan baju-baju selalu mentereng tapi ketika ditanya “Apa antum sudah baca tafsir?”, maka dijawab “Belum ustadz.” “Kenapa belum?” “Kagak punya ustadz.” Yah, itulah yang terjadi sekarang, apa itu yang disebut beriman pada kitab Allah? Coba sekarang kita list keimanan kita, harus dikasih nilai apa ya? A, B, atau justru E? Ini baru yang pertama akhi.
Pada ayat selanjutnya, tandaya ada 3 lagi nih, beriman kepada yang ghaib, mendirikan shalat, dan menafkahkan sebagian rezeki.
Kita bedah yang pertama dulu, beriman kepada yang ghaib.
“Malaikat ghaib nggak? Kalau surga gimana? neraka?, dan Allah itu ghaib juga apa nggak?” Tanya ustadz pada binaannya. Kemudian mereka menjawab serentak, “Ghaib.”
Kalau emang ghaib, antum sudah beriman belum? Jangan-jangan belum lagi, apa contohnya? Antum tahu nggak kalau malaikat itu sayapnya lebar banget, bagi mereka yang menuntut ilmu malaikat nggak henti-hentinya ngoceh, ngedo’ain dan memohon ampun buat mereka. Sayangnya yang dido’ain malah pada ngantuk, masa liqo ngantuk. Jadi lucu ya, malaikatnya lagi do’a eh dia malah asyik manggut-manggut, tapi bukan karena ngerti, tapi karena tidur. Udah datang terlambat, sampai sini malah tidur. “Wah, ustadz kok bahasannya sindiran semua sih,” kata ustadz itu pada binaannya. Kemudian dijawab lagi sama ustadz sendiri, “Ya iya donk, ngaji itu kan harus disindir biar pada nyadar. Betul nggak?” Yang lain hanya tertawa, sebagian ada yang terdiam karena merasa. Ayo, sekarang kita urutin lagi, kita dapat nilai apa nih? A, apa E, atau EE? Makanya jangan ke-PD-an dulu.
Trus yang kedua, mendirikan shalat.
“Kenapa Allah sebut dengan mendirikan shalat?, yuqiimu iqaamah. Nggak dipakai ya’maluunash shalah, melaksanakan shalat? Ini adalah isyarat bahwa sebenarnya kita dituntut untuk menjadikan shalat sebagai ruh dalam kehidupan, bukan cuma sekedar melaksanakan, alias STMJ (Shalat Terus, Maksiat Jalan). Shalat adalah keadaan di mana kita mengikat hati pada Allah swt., (kemudian ustadz memraktekannya dengan mengikat pensil dengan seutas tali, lalu meletakkan pensil di karpet dan menyeret-nyeretnya) jadi setelah selesai shalat, hati kita terikat nggak dengan Allah? Pensil ini ngikutin ke mana tali ditarik nggak? Begitu juga dengan shalat akhi, sudah seberapa besar keyakinan dalam hati bahwa Allah itu selalu mengawasi kita? Dan melihat setiap aktifitas yang kita lakukan. Ini adalah gambaran mendirikan shalat, beda kalau kita hanya melaksanakan saja. Nggak ada ikatan yang terjalin, shalatnya kosong.
Dan yang ketiga, ini merupakan dampak dari shalat yang baik juga. Menafkahkan sebagian rezeki.
Ciri dari kebaikan shalat adalah meningkatnya keshalihan sosial dalam diri kita, semakin baik shalatnya semakin tinggi rasa kepedulian kepada lingkungan di sekitarnya. Jadi, berdasarkan urutan penjelasan Allah, hal pertama yang harus dibangun adalah keyakinan kita akan yang ghaib, dari situ baru kita bisa menghadirkan ruh pada shalat, terakhir adalah meningkatkan kepekaan kita. Kalau dalam tafsir surat al-Maa’uun, orang yang shalat tapi tidak punya kepekaan dikategorikan munafik.
Ayo kita lihat lagi, berapa nilai yang kita dapat dari poin ini? Masih E, atau malah F?

###

Bersambung… tapi sambungannya silakan baca tafsirnya langsung oke.. semoga bermanfaat.



Srengseng Sawah, jelang malam,
Kamis, 8 Mei 2008, pukul. 21.35

No comments: