Friday, May 9, 2008

My Short Story

“Ful, kapan kamu mau ngaji?” Kata kakakku suatu malam, ini bukan kali pertama ia menawariku untuk ‘ngaji’. Sudah beberapa kali aku tolak tawaran tersebut. ‘Kalau mau ngaji kenapa harus jauh-jauh, dekat rumah juga ada kalau hanya sekedar ‘nguping’ alias ngaji kuping alias jadi pendengar setia gitu,’ kataku dalam hati.
“Ngaji apaan sih? Emang ngapain ajah?” tanyaku dengan nada sedikit kesal bercampur penasaran.
“Itu disebutnya liqo, ntar di sana kamu bisa punya banyak kenalan baru. Lagipula nanti ada materi dan tanya jawab juga kok. Gaul donk!” jawab kakakku bersemangat.
“Nanti saya pikir dulu, kalo udah niat saya bilang”

###

Selepas shalat, aku memulai munajatku pada sang khalik, berharap akan keluar keputusan yang tidak akan menyesatkan atau membuatku menyesal karena mengambil keputusan itu.
“Ya Allah, tolong saya.. saat ini saya lagi bingung, saya disuruh ikut pengajian tapi saya masih ragu, saya nggak tahu itu baik untuk saya atau nggak. Jika itu adalah yang terbaik, tolong buka hati ini agar mau mencobanya.”
Tak terasa ada butiran-butiran bening keluar dari kelopak mata, ada ketenangan yang tiba-tiba menyusup ke dalam jiwa. Apa ini pertanda baik? Ah, aku tak berani mengambil keputusan secepat itu. Aku akan terus berdo’a hingga hati ini betul-betul mantap melangkah dan tak lagi berniat mundur ketika telah mengambil keputusan.

###

Seminggu kemudian aku menyatakan kesediaanku pada kakakku, kukatakan bahwa aku ingin secepatnya bertemu dengan calon murabbi, sebutan bagi pengajar liqa sebagaimana dijelaskan oleh kakakku waktu itu. Akhirnya disepakati hari pertemuanku dengan calon murabbi hari Minggu depan tanggal 27 Mei 2001. Itu berarti dalam dua hari ke depan aku akan berjumpa dengan orang yang akan mengantarkan aku pada perubahan sebagaimana yang dijelaskan kakakku ketika kunyatakan kesediaanku.

###

Hari ini, Minggu 27 Mei 2001 pukul 12.25 aku berangkat ke rumah beliau. Ditemani oleh dua orang kakakku dan seorang teman kakakku plus adiknya yang katanya akan menjadi teman seperjuanganku di liqo nanti. Namun sebelumnya kami harus menunggu mereka di pinggir jalan. Aku berharap benar-benar akan memperoleh suasana baru di sana.
“Itu dia.” Kata kakakku sambil menunjuk ke arah seorang perempuan yang mengenakan pakaian warna biru muda berbalut kerudung putih, bersamanya ada seorang pemuda yang berpakaian rapi, mungkin dia itu adiknya yang akan ikut bersama menimba ilmu, sama-sama bercita-cita memperbaiki diri melalui liqo.
Lalu kami berjalan ke arah mereka yang baru saja turun dari angkutan umum.
“Assalamu’alaikum..” sapa kakakku pada temannya itu sambil bercipika cipiki, cium pipi kanan dan kiri.
“Wa’alaikum salam, eh ini Iful ya Nung?” tanyanya pada kakakku, kemudian kami melanjutkan perjalanan sesuai dengan tujuan awal.
Kedua kakakku dengan temannya telah asyik berbincang, sementara aku dan adik teman kakakku masih saling diam, rupanya ia juga sama sepertiku, tidak mudah bersosialisasi dengan orang yang baru dijumpai. Tapi ini tidak boleh didiamkan, harus ada pembuka perbincangan. Sangat tidak lucu jika sampai ke rumah calon murabbi kami masih saling diam dan tak mengenal satu dengan lainnya.
“Eh, sekolah di mana?” Kataku dengan penuh keterpaksaan, sungguh tidak nyaman jalan bersama tapi saling mendiamkan.
“Di Perintis.”
Duh, hanya itu yang dijawabnya, aku berharap dia akan balik bertanya. Kutunggu agak lama tapi tak ada kata yang terucap dari mulutnya.
“Kelas berapa?” Aku kembali mencoba membuka forum perbincangan.
“Sekarang kelas dua SMEA,”
“Kalau Iful gimana?” Dia akhirnya balik bertanya sambil mengarahkan pandangannya padaku.
“Oh, kalau saya masih kelas dua SMP, sekolahnya di Kesuma Bangsa, Tanah Baru.”

###

Tak terasa kami telah tiba di rumah calon murabbi, perbincangan singkat tadi kurasa cukup untuk sekedar mencairkan suasana. Kami disambut oleh isteri beliau, kebetulan beliau sedang tidak di rumah, di masjid tepatnya. Setelah mempersilahkan kami masuk, Mbak Yul, bergegas menuju masjid untuk memanggil si abi.
Kakakku dan temannya masuk ke dalam rumah, sementara aku dan Fauzan menunggu si abi di teras depan rumah.
Sesaat kemudian, Mbak Yul datang bersama si abi.
“Assalamu’alaikum.. Asep,” beliau menyapa kami dengan salam sambil menjabat tangan kami dan menyebutkan nama beliau.
“Mangga-mangga,” beliau menyilahkan kami duduk dan meminum teh yang telah disediakan. Kami hanya senyum dan saling memandang.
“Jadi gimana ceritanya nih? Antum siapa tadi namanya?” Tanya Pak Asep pada Fauzan. Lalu Fauzan menyebutkan namanya dan menjelaskan maksud kedatangannya, aku menyimak apa yang diungkapkannya pada Pak Asep.
“Kalo antum gimana? Masih sekolah? Kelas berapa?” Pak Asep mengalihkan pertanyaan padaku setelah mendapat penjelasan dari Fauzan. Aku kaget.
“Iya sama pak, saya juga masih sekolah. Sekarang baru kelas dua SMP.”
“Oh, masih SMP ya.. wah di sini minimal SMA tuh.” Kata Pak Asep padaku.
Dug, jantungku rasanya mau copot. Setelah beberapa waktu lamanya aku berusaha meyakinkan diri untuk ikut, dan ketika aku mantap untuk mencoba, semua terhalang karena aku masih duduk di bangku SMP. Menyedihkan sekali.
“Tapi nggak apa-apa deh, kita coba saja dulu.” Kata Pak Asep lagi. Jawaban itu membuat harapanku kembali setelah sebelumnya sempat diliputi kekecewaan.
Dan akupun menghadiri liqo perdana pada hari Senin malam tanggal 4 Juni 2001, hingga saat ini. Walau kini aku tak lagi bersama beliau karena beliau saat ini berdomisili di Bogor. Dengan siapapun, semoga istiqomah selalu menemaniku dan sahabat-sahabatku.
Dan perubahan itu kini telah kurasakan, aku tak lagi kesulitan berkomunikasi dengan orang yang baru kukenal. Aku kini banyak memiliki kenalan yang setiap saat memberikan informasi kebaikan untukku..

###

Untukmu sahabatku… maafkan segala kesalahan yang pernah kuperbuat padamu.
Untuk-Mu Rabb, tak putus rasa syukurku pada-Mu atas kesempatan yang Engkau berikan padaku, kesempatan untuk mengecap manisnya iman melalui persahabatan yang dilandasi keimanan, kesempatan untuk merasakan sulitnya perjuangan di jalan da’wah yang pernah di tempuh oleh nabi dan rasul-Mu. Berikan balasan terbaik pada kami ya Rabb…
“Yaa muqallibal quluub, tsabbit qalbii ‘ala dii nika, tsabbit quluubana ‘ala dii nika.. Allahumma aamiin…”
Walhamdulillahi rabbil ‘aalamiin..

1 comment:

Anonymous said...

hehehe*
ini my second comment..

waduuuh..
kaya'a ini pengalaman pribadi penulis yhaa?? baru tau.. hihihi*

yupz..
hidayah itu mmg milik syapa ajj, g peduli anak SMP yg masih imut2 kaya' kk dulu (dulu lhoo!! hiks..)

bagus c cerita'a..
cuma agak gimanaa gitu.
kurang bikin penasaran k.
ending'a juga gitu (datar2 ajj)
jelasin dunx selain Fauzan, tmn LQ'a syapa lg..

maaph yak klo berkesan sok tau.