Tuesday, July 27, 2010

Hingga Ruh Bosan Berada Di Jasadnya

Di keheningan malam, Budi mengenang masa kecilnya. Saat dimana dirinya masih duduk di pangkuan ibunda tercinta. Merasakan lembutnya belaian tangan dan hangatnya kasih sayang ibu untuknya.

Kini ia telah beranjak dewasa. Rasa itu tidak berubah, tetap sama seperti dulu.

Sebagai seorang anak dari seorang PNS, Budi tak pernah menuntut ini dan itu. Ia menjalani hari-harinya dengan kesederhanaan. Ya, sederhana. Itulah citra yang melekat pada seorang PNS dan keluarganya. Sangat jarang PNS bisa hidup makmur, dengan fasilitas serba cukup.

Sang Ayah menginginkan Budi menjadi PNS, sama seperti kedua orang kakaknya. Adik lelakinya tengah menjalani pendidikan di Lembaga Sandi Negara, dan itu berarti gerbang menuju PNS terbuka luas. Tinggallah ia seorang yang kini harus berjuang.

Ayah berusaha mencarikan beberapa peluang untuknya. Dan berhasil. Di pertengahan tahun 2007, Budi mendapat tawaran mengajar di sebuah SMPN di Depok, menjadi guru honorer. Kini ia bisa bernapas lega. Setidaknya, jalannya menuju status PNS telah terbuka.

Ia mencurahkan semua perhatiannya pada pekerjaannya. Ia belajar dari pengalaman Ayahnya, berusaha mengoptimalkan potensi yang dimilikinya. Sambil mengajar, ia menimba ilmu di malam hari. Melanjutkan pendidikannya ke jenjang strata satu.

Ia punya satu tekad. Tak ingin citra ‘sederhana’ itu melekat padanya jika ia diangkat menjadi PNS nanti. Ia berusaha menciptakan peluang. Membuka beberapa usaha sampingan. Mulai dari kedai pulsa, hingga jual beli alat elektronik bekas. Ia ingin menjadi seorang PNS yang mandiri, yang tidak memanfaatkan jabatannya sebagai alat untuk memperkaya diri.

Usahanya berhasil. Meski gaji yang didapatnya dari mengajar tak seberapa, ia tetap bisa memenuhi kebutuhannya dari hasil usahanya.

Suatu malam, tanpa sengaja ia bertemu dengan seorang pemuda yang sedang berbincang dengan tetangga jauhnya.

“Budi!” sapa tetangganya.

Ia menghampiri keduanya. Perbincangan santai mengalir. Dan dari perbincangan itu, ia tahu bahwa pemuda itu membutuhkan bantuan. Budi menawarinya tinggal di rumahnya. Ia tak sedikit pun menaruh curiga pada orang yang baru dikenalnya, yang baru saja kehilangan kedua orangtuanya di kampungnya. Begitulah seorang Budi, ia selalu ingin berbagi pada siapapun.

###

Di penghujung tahun 2009, sebuah kabar gembira menghampirinya. Ia dipromosikan oleh kepala sekolahnya untuk diangkat menjadi PNS.

Sebelum SK penetapan diterbitkan, ia wajib menjalani pendidikan pra-jabatan. Ia mempersiapkan semua dengan sangat matang. Doa pun tak henti-henti dipanjatkan.

Saat hari yang dinantikan semakin dekat, sebuah ujian berat menghampirinya. Tangan kanannya patah saat ia bertanding dalam kompetisi bola. Harapannya pupus.

Dengan sabar, ibu tercinta mendampinginya melalui masa-masa sulit. Ia hampir putus harapan saat dinyatakan bahwa ia batal mengikuti program pra-jabatan karena patah tangan.

Ia kesal pada dirinya! Mengapa semua ini terjadi di saat ia hampir berhasil memenuhi harapan kedua orangtuanya, menjadi seorang PNS.

Ia mengeluh di pangkuan ibunya, “Bu.., maafin Budi, ya… Budi belum bisa bikin ibu dan bapak bangga. Maafin Budi jika terus menyusahkan ibu.” Airmata menganak sungai di pipinya.

“Jangan bicara begitu, Budi! Apapun yang terjadi, ibu dan bapak tetap bangga sama kamu. Jangan berpikir yang aneh-aneh, ya!” balas ibu sambil membelai lembut rambutnya.

Budi semakin sedih. Ia merasa kembali ke masa kanak-kanak. Kembali menyusahkan ibunya ketika hendak makan, atau berpakaian.

###

Dua bulan berlalu. Tangannya mulai pulih. Ia telah mampu menulis seperti biasa. Meski rasa sakit itu belum hilang sepenuhnya, ia terus melatih tangannya melakukan rutinitasnya.

Semua kembali normal. Budi tak lagi menyesali kegagalan yang dialaminya. Ia menjadikan hal itu sebagai pelajaran berharga. Sebagai titik awal menuju kesuksesan yang lebih besar. Ia membangun kembali optimismenya, bahwa semua yang dicita-citakannya akan terwujud di hari depan. Tak peduli kapan masa itu datang. Ia akan terus berjuang hingga ruh bosan berada di jasadnya!

No comments:

Post a Comment