Saturday, August 15, 2009

Merah Putih di Dadaku

“Ara…, cepat pasang benderanya! Dari tadi melamun saja, sekalian buka jaket Palestine-mu. Huh, nggak nasionalis banget!” kata Nay sambil mencubit pipi Zahra.

Zahra membalas sambil berkacak pinggang, “Yee, enak saja aku dibilang nggak nasionalis! Nasionalis tuh disini.” Zahra menunjuk dadanya yang dibusungkan.

Nay berlalu sambil membawa beberapa buah bendera merah putih yang akan dipasang di sepanjang jalan depan fakultas bahasa. Zahra tersenyum melihat sahabatnya, ia telah berubah, rambutnya yang halus tak lagi tergurai diterpa angin, justru jilbab lebarlah yang kini berkibar saat ia berjalan. Sejak masuk ke Universitas Indonesia, Nay memutuskan untuk mengenakan jilbab.

Zahra mengenang kembali masa lalunya bersama Ghanay Silvia, nama lengkap dari Nay. Sejak SMA, Nay memang selalu bersemangat menjalani hari, tak pernah sekali pun ia menampakkan rona kesedihan di wajahnya, hanya gurat-gurat keletihanlah yang tak mampu disembunyikannya. Rinjing berisi gorengan selalu dibawanya ke sekolah. Nay menjual gorengan itu kepada teman-teman sekolahnya, jika sudah begini, penjaga kantin menekuk mukanya, kesal karena dagangan yang dibawa Nay lebih laris dari dagangan mereka.

***

“Assalamu’alaikum…,” salam Zahra sambil mengetuk pintu rumah Nay.

Pintu terbuka, seorang ibu paruh baya keluar sambil menjawab salam, “Wa’alaikumussalam. Eh, Nak Zahra, masuk, nak…, Nay sedang membantu ibu membungkus kue.”

Zahra melangkah masuk ke rumah yang tak luas, hanya berukuran lima kali enam meter. Ghanay tampak sibuk menata kue buatan ibu. Zahra merasa sungkan untuk menyampaikan maksud kedatangannya.

“Ada apa, Ra?” tanya Nay.

“Eh, anu…, aku mau kasih kabar ujian masuk PTN, hasilnya sudah keluar, Nay.”

Ghanay menatap Zahra lekat, ia lalu menoleh ke arah ibunya. Ibu seolah tahu apa yang hendak disampaikan anaknya, tak lama ibu mengangguk.

Ghanay bangkit dari duduknya, lalu melangkah keluar rumah, Zahra mengekor.

“Nay, kita lulus…, kita diterima di fakultas bahasa UI,” kata Zahra sambil memegang bahu Nay.

Nay terdiam. Suasana hening. Matanya nanar. Lama ia mengumpulkan energi untuk mengucapkan sebait kata pada sahabatnya, “Ra…, maafkan aku, sepertinya langkahku terhenti disini. Aku tak ingin membebani ibuku, biaya pendaftaran SNMPTN lalu pun kuambil dari uang modal ibu, aku tak ingin menyusahkannya, Ra… Aku ikut SNMPTN semata agar kamu bersemangat, aku sudah sangat mengenal karaktermu, Ra…, kita akan tetap menjadi sahabat meski tak lagi bersama.”

Zahra tak kuasa menahan tangis. Sambil tersedu ia menyampaikan maksudnya, “Nay…, cukup! Jangan dilanjutkan! Aku datang ke sini tak hanya untuk menyampaikan info kelulusan kita. Orangtuaku akan menanggung semua biaya pendidikanmu, dan kamu tak boleh menolak.”

***

“Ra…, ayo pasang benderanya! Kenapa malah melamun sih?! Mau dapat pahala, tidak? Sebentar lagi Ramadhan…, ayo semangat!” kata Nay sambil menepuk pundak Zahra.

Zahra tersadar dari lamunannya. Nay berjalan meninggalkan Zahra sendiri.

“Siaaaaap, komandan!” jawab Zahra sambil berlari mengejar Nay.

No comments:

Post a Comment