entah kenapa tubuhku terasa begitu dingin... baju hangat dan selimut tebal yang kukenakan tak mampu menahan rasa dingin merasuk ke tubuhku... aku menggigil... kulihat jam yang jarumnya sedang berputar... terus berputar tanpa mau istirahat barang sebentar... pukul 1 dini hari...
pagi hari akhirnya tiba juga... pagi ini aku merasa ada yang tidak beres dengan tubuhku... lemas rasanya... ingin rasanya aku beristirahat dan tak masuk kerja hari ini, tapi aku mencoba bertahan dan meyakinkan diri bahwa aku baik-baik saja dan mampu untuk berangkat kerja...
setelah beres-beres, seperti biasa temanku datang menjemput untuk berangkat ke tempat kerja... aku masih mengenakan pakaian hangat dan kaos kaki hitam dengan sandal santai, hari sabtu... aku tak mengeluhkan sakit yang kurasakan padanya, tapi dari tampilanku sangat mudah ditebak kalau hari ini aku sedang tidak dalam kondisi baik...
sesampainya di tempat kerja, aku di sambut oleh atasan dengan jabatan tangan dan senyum sumringah, nampaknya ia tidak terlalu memperhatikan penampilanku hari itu…
kunyalakan komputer, kemudian jari-jariku mulai bermain di atas keyboard… melompat ke sana ke mari…
temanku yang sejak tadi memperhatikan penampilanku bertanya, “Antum lagi sakit ya?.” Aku hanya menjawab pertanyaannya dengan senyum, aku tak ingin ‘memamerkan’ sakit yang kurasakan padanya…
hari semakin siang. Udara semakin panas, bersamaan dengan panas di tubuhku yang kian menggila… kepalaku terasa begitu berat, aku tak lagi fokus pada pekerjaan. Akhirnya kuputuskan untuk meminta pulang satu setengah jam lebih awal dari biasanya, pukul 13.35 WIB.
“Ibu maaf, mau izin pulang, Mas Saiful sakit.” Kata temanku pada kakak dari atasan kami.
“Kenapa? Apa mau ke dokter sekalian?” jawabnya.
Tapi kutolak tawarannya itu, aku merasa hanya perlu istirahat untuk memulihkan kondisiku. Jadilah aku pulang siang itu. Terik matahari semakin membuat tubuhku lemah, kepalaku semakin sakit.
Sesampainya di rumah, kubaringkan tubuh karena rasanya tulangku tak mampu lagi menopangnya. Sungguh, persendianku seolah terlepas satu dengan lainnya.
Minggu pagi, keadaannya jauh lebih baik. Aku mampu berjalan dan bercanda dengan keponakan yang berusia 2 tahun. Kebetulan di hari itu akan di adakan syukuran karena ia telah genap berusia 2 tahun.
Siangnya aku kembali melemah, akhirnya ibuku tak bisa menghadiri acara tersebut walaupun ibunya telah meminta ibuku untuk datang walau sebentar. Sungguh menyedihkan, acara yang telah direncanakan sejak lama, akhirnya tak berbuah kebahagiaan secara sempurna karena aku sakit…
Ibuku mengeluh, “Nasib ya, disaat Ridha lagi bahagia, ‘ami-nya sakit.”
Aku tak berkomentar, hanya diam sambil merasakan sakit.
Malamnya aku tak bisa tidur sama sekali, muntah-muntah… aku bilang pada ibuku, “Mau tidur… tapi gak bisa…” aku memelas. Ingin sekali aku memejamkan mata barang sebentar, tapi tak dapat kulakukan karena aku muntah lagi… entah berapa menit sekali…
Ibuku mengusap kepalaku yang telah dibasahi oleh keringat… “Sabar… memang lagi sakit, ya wajar kalau gak bisa tidur…” katanya padaku.
Aku terus memelas, “Mau tidur…”
Senin pagi, aku tak muntah lagi. Panas telah reda, berganti dengan rasa dingin yang teramat. Akhirnya kuputuskan untuk tidak masuk kerja hari itu dan memeriksakan diri ke Rumah Sakit, tempat yang paling kutakuti. Tempat yang akan membuat kepalaku pusing jika masuk ke dalamnya.
Tak ada pilihan lain selain memeriksakan keadaanku. Setelah mendaftar, tinggal tunggu giliran untuk diperiksa. Rencananya aku akan diperiksa di Poli Penyakit Dalam…
Hampir satu jam aku menunggu, rasanya aku tak tahan lagi, aku berbaring di kursi tunggu. Merebahkan badan dan meletakkan kepala di pangkuan ibuku…
Akhirnya tiba juga giliranku. Aku masuk ditemani ibu. Dokter mulai menanyakan keluhan apa yang kurasakan, lalu mulai memeriksa tanganku, ada bintik merah… dokter mengatakan bahwa aku menderita gejala DBD dan harus dirawat. Kemudian dokter memberikan selembar kertas, ibuku diminta ke loket administrasi untuk membayar biayanya, ternyata aku harus tes darah.
Lagi-lagi aku harus melakukan sesuatu yang paling kutakuti, aku pobia melihat darah dan jarum suntik. Dengan langkah gontai aku menuju laboratorium untuk tes darah ditemani ibu dan bapakku. Aku berharap hasilnya negatif…
Kulihat jam, pukul 10.56 WIB. Setelah dokter mengambil darahku, aku diminta menunggu hingga pukul 15.00 WIB untuk mengambil hasilnya. Kuputuskan untuk menunggu di rumah.
Pukul 14.35 WIB aku kembali ke Rumah Sakit ditemani ibu dan kakak perempuanku. Kami ke laboratorium untuk mengambil hasilnya, kemudian bergegas menuju UGD untuk menyerahkannya pada dokter untuk di jelaskan langkah apa yang harus diambil.
Sore itu aku bertemu dengan dokter Mellisa. Ia menjelaskan kepadaku bahwa aku telah kehilangan cairan tubuh lebih dari 49%, selain itu virus dengeu telah merusak lebih dari 30% trombositku. Dari hasil laboratorium itu dijelaskan bahwa jumlah trombositku telah berkurang menjadi 101 ribu dari jumlah normal yang seharusnya mencapai 150 ribu lebih.
“Wah, sepertinya bapak harus dirawat. Trombositnya sudah turun jauh pak, selain itu bapak juga banyak kekurangan cairan.” Dokter Mellisa menjelaskan kondisiku saat itu.
“Apa tidak ada alternatif lain dok?” tanyaku padanya.
“Keputusan ada di bapak, kalau dari medis sarannya bapak harus dirawat, karena jika tidak, bisa terjadi pendarahan karena bapak sudah banyak kehilangan cairan. Tapi jika bapak tidak mau ya nggak apa-apa, nanti bapak tinggal tanda tangan surat pernyataan.” Kata dokter Mellisa meyakinkan.
Akhirnya aku menyerah pada keadaan. Aku tak sanggup lagi melawan virus dengeu, entah dengeu tipe berapa yang bersarang di tubuhku, dengeu DEN 1, DEN 2, DEN 3, atau DEN 4. Yang jelas, aku harus istirahat di Rumah Sakit Umum Daerah Kota Depok, RSUD Depok yang baru dua bulan beroperasi.
Setelah aku menyatakan setuju dirawat, aku diminta perawat berbaring untuk dipasangi infus. Lagi-lagi aku harus melakukan sesuatu yang paling aku takuti, diinfus. Karena pastinya aku akan disuntik untuk memasukkan jarum infus.
Sebelum dipasang infus, kutanya pada perawatnya sekedar basa-basi, “Harus disuntik ya dok?”
“Ya iya dunk. Memang kenapa? Takut ya?” Kata perawat lelaki yang kupanggil dokter itu.
“Iya nih.” Kataku padanya.
“Waktu kecil pernah disunat kan? Nggak sakit kan? Kecuali kalau belum pernah disunat, baru boleh takut.” Katanya bercanda untuk menghiburku.
Beberapa menit kemudian aku diantar ke ruang rawat inap. Berbaring di tempat tidur dengan botol infus yang menggantung di sampingku. Tak pernah terbayang sebelumnya bahwa aku akhirnya harus berbaring di tempat yang selama ini sangat aku takuti untuk masuk ke dalamnya, Rumah Sakit. Di tempat tidur tersedia papan kecil yang kemudian ditulisi nama Tn. Saiful Anwar dengan diagnosis DHF, dengeu hemorrhagic fever, alias DBD.
Malam pertama di Rumah Sakit, aku dipesan oleh dokter, katanya, “Nanti bapak akan sering buang air kecil sebagai efek samping dari infusan, jadi kalau ingin buang air kecil pakai pispot saja, jangan sering-sering ke kamar mandi.”
Aku iya-kan pesan dokter itu. Tapi aku merasa akan sangat sulit untuk buang air kecil menggunakan pispot, malu. Setelah dokter meninggalkanku, aku mendadak ingin pipis. Kusampaikan pada ibuku keinginanku. Karena khawatir, ibuku meminta kakakku yang lelaki mengantarku ke kamar mandi.
Setelah selesai, aku ber-istinja, membersihkan sisa pipis. Tiba-tiba gayung terlepas dari tanganku, beberapa saat kemudian aku sudah berada di atas tempat tidur lagi, dikelilingi oleh dokter. Aku pingsan. Lalu dokter kembali berpesan padaku dengan lebih tegas, “Mulai sekarang bapak tidak boleh turun dari tempat tidur.”
Jadilah aku berbaring di tempat tidur terus. Tak berani ke kamar mandi lagi. Kata kakakku kepalaku terbentur tembok kamar mandi. Innalillahi wa inna ilaihi ra ji‘uun… Ya Allah kuatkan aku…
1 comment:
duhhhh...
nyeri bacanya, ternyata saiful bisa sakit jg, hehe...
Post a Comment