“Anak-anak, hari ini kalian kedatangan teman baru.” Kata bu guru yang sedang berdiri di dekat papan tulis, saat itu telah ada bersamanya seorang siswi perempuan yang mengenakan seragam putih-merah dengan balutan jilbab krem di kepalanya. Seluruh siswa kelas 3 SD Negeri Anyelir II serentak menoleh ke arah bu guru dan teman baru mereka, saat itu suasana sedang ramai karena seluruh siswa sedang asyik mengerjakan tugas menggambar gunung dari bu guru.
“Ayo Syifa, perkenalkan dirimu pada teman-taman.” Kata bu guru pada siswi kecil dengan lembut.
“Assalamu’alaikum, nama aku Syifa. Lengkapnya Syifa Khairani. Aku baru pindah dari Jakarta karena rumahku di rusak oleh pak petugas di sana, kata mereka, rumahku menggangu pemandangan. Sekarang aku tinggal di dekat Jembatan Serong, dekat sekali dengan tempat sampah yang luasnya seperti lapangan bola.”
Semua murid memperhatikan dengan seksama apa yang baru saja diungkapkan oleh teman barunya itu. Beberapa orang dari mereka tertawa terbahak ketika mendengar perkenalan yang dilakukan Syifa, ia mengungkapkan semua yang ada dipikirannya tanpa memikirkannya lagi karena masih sangat polos, bahkan boleh dikatakan jujur. Ya, itu semua karena ia memang dididik oleh seorang ibu dan ayah yang sangat memegang prinsip kejujuran, jujur pada kenyataan dan jujur pada hati nurani.
Syifa hanya tertunduk ketika ada sebagian teman yang menertawainya, lalu bu guru menyuruhnya duduk bersama Ani yang kebetulan duduk sendiri. Kursinya persis di depan meja bu guru. Ia berjalan ke arah Ani duduk, lalu mengulurkan tangannya sambil meletakkan tas di kursinya. Ani tersenyum sambil meraih tangan Syifa dan memperkenalkan dirinya, “Aku Ani.”
###
“Baik anak-anak, silahkan lanjutkan menggambarnya.” Suara bu guru setengah teriak untuk mengembalikan fokus anak-anak pada tugas mereka.
Lalu Syifa mengeluarkan sebuah buku tulis yang telah usang, ia tidak membawa buku gambar yang memang tak dimilikinya. Ia mulai menggorekan garis-garis dan bentuk-bentuk unik pada bukunya, gambarnya bagus. Setelah selesai, bu guru meminta mereka semua mengumpulkannya di meja bu guru untuk dinilai.
Satu per satu gambar dinilai, ketika melihat gambar milik Syifa bu guru memperhatikan dengan seksama gambar apa itu, ternyata Syifa menggambar gundukan sampah yang luasnya seperti lapangan bola, di sekitarnya ia menggambar rumah kecil. Melihat gambar itu membuat hati bu guru miris, seorang anak yang manis seperti Syifa harus bersinggungan dengan truk sampah dan isinya setiap hari, yang tak kalah dari itu adalah baunya yang pasti sangat mengganggunya karena jarak rumah mereka sangat dekat dengan TPA di dekat Jembatan Serong itu. Kemudian bu guru mengembalikan buku-buku di mejanya kepada pemiliknya masing-masing.
“Syifa, kamu gambar apa sayang?” tanya bu guru pada Syifa ketika hendak menyerahkan hasil karyanya. Bu guru hanya ingin memastikan apakah yang dilihat dan diterkanya itu benar.
“Oh, itu gambar rumahku bu guru.”
“Kenapa kamu tidak menggambar gunung?” tanya bu guru lagi.
“Ini bu,” katanya sambil menunjuk ke arah samping dekat gambar rumah yang dikatakan adalah rumahnya. “Ini gambar gunung sampah yang ada dekat rumahku bu.” Tambahnya setelah bu guru melihat ke arah yang ditunjuk oleh jarinya.
###
Seminggu telah berlalu, bu guru masih terus memperhatikan setiap aktifitas yang dilakukan oleh murid barunya itu, aktifitas yang sangat lain dari siswa yang ada di kelas itu.
Suatu pagi, bu guru melihatnya memunguti sampah yang dibuang oleh teman kelasnya di sembarang tempat. Ia dengan sabar memunguti setiap sampah yang ia dapati di dekatnya, lalu dimasukkan ke dalam kantong plastik hitam dan dimasukkan lagi ke tasnya. Setelah pelajaran selesai, ia akan bergegas pulang dengan membawa sampah yang ia masukkan ke dalam tasnya itu. Entah apa yang hendak dilakukannya pada sampah itu.
Karena penasaran, akhirnya bu guru memutuskan untuk membuntuti murid barunya itu. Benak bu guru telah dipenuhi oleh berbagai terkaan yang mungkin akan dilakukan Syifa. Bu guru terus mengikuti ke mana Syifa berjalan, ketika semakin dekat dengan rumah, ia berbelok. Ternyata ia masuk ke TPA dan membuang sampah itu di sana.
Bu guru menunggu hingga ia kembali ke arah rumahnya.
“Eh bu guru, lagi apa bu di sini? Mau ke rumah Syifa ya?” Kata gadis kecil itu yang tiba-tiba telah berada di dekat bu guru.
“Iya boleh, ibu mau main ke rumah kamu kalau boleh.” Kata bu guru sambil merunduk dan mencubit pipi muridnya itu.
“Boleh-boleh, benar ya bu..” kata Syifa sambil menarik tangan bu guru menuju rumahnya.
Di tengah perjalanan, bu guru bertanya tentang apa yang baru saja dilakukan muridnya itu.
“Syifa sayang, kenapa kamu kok suka kumpulin sampah di kelas dan membuangnya di sana.” Tangan bu guru menunjuk ke arah TPA tadi.
“Kata ibuku, kalau melihat sampah di tempat kita belajar harus dibuang bu, soalnya itu bisa menggangu konsentrasi. Di jalan juga aku suka pungut kok bu, trus aku masukin ke plastik hitam dan aku buang di sana juga. Ibuku selalu mengingatkan agar aku membuang sampah yang ada, termasuk yang ada di sini bu.” Jelasnya sambil menunjuk ke arah dadanya.
“Ibuku bilang, sampah itu nggak hanya yang bentuknya seperti di sana, tapi ada juga dalam bentuk yang nggak kelihatan bu. Sampah yang nggak kelihatan itu adanya di hati kata ibuku.” Lajutnya lagi.
Mendengar penjelasan siswinya yang masih polos itu membuat bu guru menitikkan air mata, ia terharu dengan apa yang baru saja disaksikan dan didengarnya. Ia bertekad untuk bisa bertemu dengan ibunya Syifa, ia ingin melihat langsung sosok ibu yang telah menanamkan nilai-nilai kebaikan pada anaknya sejak usia dini.
“Kok ibu nangis? Apa karena Syifa nakal bu?” Kata Syifa sambil menggoyang-goyangkan tangan bu guru.
“Nggak sayang, kamu nggak nakal. Ibu memang lagi sedih saja kok.”
“O gitu ya bu.”
Kemudian mereka kembali berjalan, rumah Syifa sudah terlihat. Perjalanan yang hanya sekitar 30 meter itu memberi banyak pelajaran untuk bu guru.
Sesampainya di rumah Syifa, bu guru disambut hangat oleh seorang yang masih muda, usianya sekitar 29 tahun. Ia ibu Syifa yang tampak cantik dengan balutan kerudung hijau muda. Bu guru dipersilahkan masuk, kemudian mereka berbincang seputar Syifa dan cara ibunya mendidik Syifa.
Hari itu menjadi hari yang sangat membahagiakan untuk bu guru, karena bu guru dapat menggali ilmu yang belum didapatinya sebelumnya. Ilmu tentang Islam, tentang bagaimana mendidik anak yang baik yang disarikan dari nilai-nilai keislaman. Belajar tentang kebersihan zhahir dan batin. Yang saat ini jarang diperhatikan oleh banyak orang.
###
Ikhwah fillah, mungkin banyak kesalahan dalam tulisan ini. Harapan ana, ada hikmah yang dapat kita petik. Terutama bagaimana kita memperhatikan lingkungan kita, dan bagaimana kita memelihara hati agar tetap bersih, sehingga kita dapat menghadap-Nya dengan hati yang bersih pula. “kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih,” (QS. asy-Syu‘araa: 89)
Karenanya sangat penting peran sahabat, saudara, atau siapapun mereka untuk saling mentaushiyahi saudaranya yang lain, agar perjalanan da’wah ini dapat dilalui dengan baik. Agar hidayah dan istiqamah terus menyertai langkah kita. Aamiin…
Wednesday, May 7, 2008
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
1 comment:
yak!!
bener bgt emang, peranan sahabat, saudara sangat penting untuk saling m'tausiahi.
tapiii..yg jd masalah adl dilakukan g tuh??
banyak yg cuma bs ngomong tp g melakukan. padahal jelas2 Allah amat mbenci yg kaya' gitu. (Qs.61:3).
yuaa..
cerita'a menginspirasi.
apalagi diambil dr dunia anak2 yg sensitif bgt.
chayyo k!!
semangat b'karya yak!!
Post a Comment