Monday, September 29, 2014

THE MAZE RUNNER (2014) Review: The Potential Debut Adaptation



Saat ini, Production House tengah berlomba mengadaptasi buku-buku popular berseri. Sebut saja Warner Bros yang mendulang sukses melalui franchise Harry Potter, Lionsgate dengan The Hunger Games, serta Summit dengan seri The Twilight Saga dan Divergent yang mulai memiliki massa. Mengekor kesuksesan tersebut, 20th Century Fox mencoba peruntungannya melalui film terbarunya, The Maze Runner, yang diadaptasi dari novel trilogi karya James Dashner.
Novel The Maze Runner sendiri tidak memiliki basis massa sebesar The Twilight Saga. Selain itu, promo film adaptasinya terbilang minimalis, tidak seperti film franchise yang telah mendulang sukses. Disutradarai oleh Wes Ball, seorang sutradara yang baru memulai debut di dunia perfilman seolah melengkapi daftar minus film ini.
Film bergenre aksi-misteri-sci-fi ini bercerita tentang seorang pemuda bernama Thomas (Dylan O’Brien) yang ingatannya terhapus dan terdampar di sebuah area bernama Glade. Dalam Glade tersebut terdapat sekumpulan pemuda yang menamai diri mereka Gladers. Para Gladers bertahan hidup dengan mengandalkan kiriman makanan yang datang sebulan sekali bersamaan dengan datangnya seorang calon Gladers.
Setiap harinya sekelompok Gladers yang bertugas sebagai pencari jalan keluar berlari ke dalam bagian Glade yang membentuk sebuah labirin berpola acak. Setiap hari pola tersebut berubah sesuai dengan urutan tertentu. Di dalam labirin tersebut terdapat makhluk mengerikan yang siap menghadang para pelari dari kelompok Gladers.
Kedatangan Thomas mengubah semua hal yang terjadi dalam tiga tahun terakhir. Mulai dari terbunuhnya Grievers, makhluk penjaga labirin, dan dikirimnya seorang wanita bernama Teresa (Kaya Scodelario) yang mengenali Thomas di hari pertama kedatangannya dengan membawa pesan “she's the last one ever,” yang berarti bahwa tidak akan ada lagi penghuni baru Glade setelah Teresa, serta dihentikannya bantuan makanan bulanan mereka.


Quite well-directed to cover not so well written script.

Mengangkat sebuah novel ke layar lebar bukanlah perkara mudah. Diperlukan beberapa aspek yang dapat menyokong kesuksesan film adaptasi tersebut. Salah satu aspek yang menjadi penting dalam proses visualisasi novel menjadi sebuah film adalah penulisan skenario. Diperlukan seorang script-writter handal yang mampu mentransfer setiap kalimat dalam buku menjadi dialog-dialog yang menghidupkan film adaptasi tersebut.
20th Century Fox menyerahkan tugas ini kepada Noah Oppenhaim dan Grant Pierce Mayers. Sayangnya, kedua penulis skenario tersebut boleh dibilang gagal menyajikan dialog yang dapat menyihir para penontonnya. Skenario tersebut memberi kesan one-dimensional terhadap beberapa karakter. Dengan banyaknya karakter yang muncul dalam film ini, one-dimensional script membuat karakter-karakter tersebut kehilangan power dan terkesan memenuhi layar.
Beban berat bertumpu di pundak Dylan selaku pemeran Thomas. Betapa tidak, Thomas adalah tokoh sentral dalam film tersebut yang menggerakkan cerita. Diperlukan performa yang kuat untuk meyakinkan penonton mengenai sosok sentral Thomas. Sayangnya Dylan gagal menghidupkan tokoh Thomas tersebut yang berdampak pada sikap antipati penonton terhadap karakter-karakter dalam film ini.
Wes Ball, sang sutradara debutan, seolah menutupi kekurangan-kekurangan tersebut dengan arahan yang cukup bagus. Melalui atmosfer horor dan misteri yang cukup baik, Wes berhasil menghibur penontonnya. Sehingga ia patut mendapatkan kategori ‘layak’ dibandingkan dengan sutradara film 47 Ronin.
The Maze Runner memang belum layak dikatakan sebagai film adaptasi young adult yang outstanding. Jika dibandingkan dengan The Hunger Games series, The Maze Runner bukanlah apa-apa. Tetapi, The Maze Runner memberikan hal-hal menarik yang mampu membuat penontonnya penasaran untuk mengikuti setiap menit dari 113 menit film ini.
Meskipun hal-hal menarik tersaji, representasi visual dalam film ini tergolong lemah. Tidak ada sesuatu yang spesial dalam production value dalam film ini. Tidak ada gambar-gambar indah yang dapat ditangkap oleh Director of Photography, terlebih film ini juga dirilis dalam format IMAX. Visualisasi yang tersaji tidak menjadikan film ini layak dinikmati mengingat banyak scene yang disetting pada malam hari di mana pencahayaan terbatas. Suasana mencekam di tengah gelapnya malam pun tak tersaji dengan baik.
Pada akhirnya, sebagai film adaptasi buku young adult, The Maze Runner dinilai gagal menampilkan film berkualitas baik karena terdapat beberapa kelemahan dalam penggalian karakter dan penyampaian cerita seperti halnya film Divergent. Satu-satunya harapan kelangsungan franchise film ini pun bertumpu pada sang sutradara debutan, Wes Ball, yang berhasil menutupi kekurangan tersebut.

No comments: