Tuesday, July 27, 2010

I Love You, Friends

7Beberapa waktu lalu, aku membaca sebuah buku bertemakan tentang persahabatan, judulnya I Love You, Friends. Kisahnya seru-seru, membuatku ingin melakukan hal serupa, menulis kisah persahabatanku. Siapa tahu, jika buku itu dicetak ulang, kisahku bisa masuk ke dalamnya. Obsesi penulis mode on. Hahaha…

Ini dia kisahnya…

Mmm… dari mana kisah ini harus dimulai, aku jadi bingung sendiri. Kenapa? Karena kisah persahabatan yang satu ini tergolong unik. Layak disebut persahabatan atau tidak pun aku tak tahu. Tapi, yang kurasakan adalah ia seorang sahabat. Sahabat yang asing. hehe..

Dua tahun silam aku bertemu dengannya. Di ruang kelas yang tak terlalu luas. Kapan persisnya aku lupa. Bahkan bagaimana kami berdialog pertama kali pun aku tak ingat. Aneh memang, tapi ini dia seni dari persahabatan yang kumiliki.

Jatuh bangun mencoba menjalin komunikasi, selalu berujung pada kegagalan. Waktu dua tahun seolah tak cukup bagi kami untuk saling mengenal satu sama lain.

Aku hampir menyerah. Kuhapus nomor ponselnya suatu waktu. Lama tak ada komunikasi. Sampai suatu hari, aku menerima nomor baru. Ternyata dari sahabat yang hampir hilang itu. Segera kusimpan nomornya. Dalam hati kuniatkan untuk memperbaiki hubunganku dengannya.

Dua tahun berlalu. Aku masih asing terhadapnya. Begitu pun dia terhadapku.

Belum lama ini, ia mendapat musibah. Lengannya patah saat bertanding dalam kompetisi bola tarkam, antar kampung… hehe… (salah apa gak, ya?? Mudah-mudahan salah… hehehe..). Momen ini kumanfaatkan dengan baik untuk memperbaiki hubungan untuk kesekian kalinya. Aku mengajak beberapa teman sekelas untuk menjenguknya. Ia menyambut baik niatku, “silaturrahmi,” katanya melalui pesan singkat.

Karena satu alasan, harinya dimajukan sehari dari jadwal awal. Aku mencoba mengabarkan perubahan itu via telepon. Sayangnya ia telah tertidur. Tetapi teman-teman sudah bertekad untuk berangkat malam itu. Aku mengekor.

Saat hampir tiba ke TKP, dia menelepon ke teman yang saat itu satu motor denganku. Ia bilang bahwa saat itu ia sedang tidak ada di rumah, sedang ke tempat urut alternatif, baru pulang keesokan harinya. Aku patah arang. Betapa tidak! Jauh perjalanan yang sudah kami tempuh, tapi yang bersangkutan malah tak di sarangnya.. hehe…

Tak ingin usaha sia-sia, kami melanjutkan perjalanan. Ada atau tidaknya ia, tak jadi soal. Yang penting misi malam itu terealisasi.

Ia kembali menelepon. Meminta kami mengurungkan niat untuk menyambangi rumahnya. Tak tanggung-tanggung, ia melayangkan ancaman serius kepada teman yang diteleponnya. Dengan santai aku tetap melanjutkan perjalanan.

Beberapa menit berlalu. Kami tiba di rumahnya dengan selamat. Kami disambut ramah oleh orang-orang yang sedang berkumpul di depan rumahnya. Dan ternyata, dia berbohong. Sekali lagi, DIA BERBOHONG! Dia sengaja meminta kami balik agar misi malam itu gagal. Tega banget, kan??

Saat yang lain sibuk berbincang, aku masih tetap diam seribu bahasa. Hanya sesekali melihatnya di pembaringan. Miris. Keceriaannya hilang, tertelan rasa sakit yang tak dapat kuungkapkan. (soalnya dia gak cerita gimana rasanya.. hehe)

Hari-hari terus berlalu. Pertemuan hari itu tak terlalu membawa pengaruh yang signifikan pada persahabatan kami. Kami tetap diam.

Di belahan dunia lain, dunia sms maksudnya.. aku bisa menjalin komunikasi dengannya secara lancar. Sesekali canda-canda garing terlontar lewat sms.., bahasan-bahasan yang tak terucap di alam nyata, dengan mudah dapat diutarakan lewat sms. Aku sempat berpikir, mungkin memang takdir kami hanya bisa menjadi sahabat di dunia sms.

Jika dianalogikan. Kami ibarat magnet yang memiliki kutub yang sama. Dimana jika didekatkan, akan saling tolak menolak. Tak mungkin bisa bersatu meski dipaksa sekalipun. Pun demikian, aku tetap menganggapnya sahabat. Tak peduli berapa banyak waktu yang terbuang untuk memecah kebekuan. Ia tetaplah seorang sahabat bagiku. Seorang kakak juga..

Ada hal unik lain dari persahabatan kami. Apa? Cara kami memanggil satu sama lain. Aku memanggilnya abang karena ia setahun lebih tua dariku. Sedang dia memanggilku mas. Aku tak tahu mengapa ia memanggilku dengan menyematkan kata mas, mungkin karena wajahku bermutu, alias bermuka tua.. hahaha… Itulah kami, berusaha menghargai satu sama lain.

Saat usianya seperempat abad, aku menyusun sebuah surprise party untuknya. Awalnya kukira mudah, tapi ternyata membutuhkan tenaga dan pikiran ekstra keras. Maklum, belum pernah membidangi EO sebelumnya. Belum lagi masalah koordinasi dengan teman-teman yang mendukung acara tersebut, ribet! Berkali-kali kata batal terlontar, tapi pada akhirnya terealisasi dengan manis.

Kabar terakhir yang kudapat, ia akan pindah ke Kota Kembang. Tugas disana. Belum jelas juga sih, karena ia tak menceritakan hal itu padaku. Dan sepertinya memang tidak akan menceritakan hal itu padaku. hiks..hiks..

Persahabatan yang unik bukan?

Jika ada yang bertanya padaku, kapan kami akan menjadi sahabat sesungguhnya? Mungkin akan kujawab di atas mimbar, sambil mengenakan sarung, baju koko dan peci, aku berseru, “Jika kamu bertanya kapan persahabatan kami benar-benar dimulai, maka jawabannya sama dengan jawaban dari pertanyaan ‘kapan Israel dan Palestina berdamai?’, saat matahari tak lagi bersinar, saat itulah Israel dan Palestina berdamai. Mudah-mudahan sih gak sampai kiamat kebekuan kami berlangsung.. hehe…”

Tapi walau bagaimanapun, kutegaskan sekali lagi. Ia adalah sahabatku yang apa adanya. Ia tak pernah menuntut apa-apa dariku. Ia selalu bisa membuatku tersenyum, bahkan tertawa, lewat sms-sms yang dikirimnya. Ia selalu bisa mencerahkan dan memotivasiku saat aku mengeluh padanya. Thanks, ya, Abang…

No comments: